Terkendala Lahan, Kontrak Kedaluwarsa

JAKARTA, KOMPAS — Kontrak sejumlah paket pembangunan Tol Tanjung Priok kedaluwarsa karena lahan yang tak kunjung bebas. Kini pelaksana kembali berencana mengalihkan dan memperpanjang kontrak pekerjaan.

Kepala Satuan Kerja Pembangunan Tol Tanjung Priok dari Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU Bambang Nurhadi, Kamis (6/11), mengatakan, kontrak paket seksi NS Link di ruas Simpang Jampea-Jalan Sulawesi, misalnya, telah berakhir per 21 Desember 2013.

Namun, sampai kini sejumlah bidang lahan yang dibutuhkan belum bebas dan target penyelesaian pembangunan tak tercapai.

”Ada 11 pilar yang belum bisa dibangun karena lahan belum bebas. Sementara kontraktor tidak mau diperpanjang lagi waktu pelaksanaannya,” ujarnya. Karena itu, Bambang mengusulkan amandemen (penambahan kontrak atau lingkup pekerjaan) hingga akhir 2015.

Bambang menambahkan, pihaknya berharap proses pembebasan lahan bisa segera selesai sehingga pekerjaan rampung pada akhir tahun depan. Amandemen kontrak akan melalui sejumlah proses di Direktorat Jenderal Bina Marga. Perubahan kontrak juga harus mendapatkan persetujuan dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) sebagai pemberi pinjaman sesuai kesepakatan.

Selain Seksi NS Link (2,24 kilometer) yang diperpanjang beberapa kali, paket kontrak sejumlah paket lain juga harus diperpanjang karena kendala lahan. Seksi E2 sepanjang 2,74 kilometer (Cilincing-Jampea) yang ditargetkan selesai Januari 2014, misalnya,diperpanjang hingga September 2014. Namun, sampai kini belum selesai juga.

Konsinyasi

Ketua Panitia Pembebasan Tanah (P2T), sekaligus Sekretaris Kota Jakarta Utara, Junaedi, menambahkan, uang ganti rugi bagi 34 bidang lahan di Koja telah dititipkan (konsinyasi) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

”Sebagian pemilik tanah telah sepakat dengan besaran ganti kerugian dan mengambil uang konsinyasinya,” ujarnya.

Menurut Junaedi, pemerintah daerah dan P2T telah melewati semua prosedur untuk pembebasan lahan. Namun, pemilik lahan berkeras mempertahankan lahan karena alasan belum menyetujui besaran ganti kerugian. Pihaknya tidak ingin berkompromi lagi karena penyelesaian proyek terus tertunda akibat molornya pembebasan tanah.

Sejumlah pemilik lahan di Koja menuntut ganti rugi Rp 35 juta per meter persegi. Padahal, angka penetapan tim penilai sebesar Rp 12 juta per meter persegi.

Di Kalibaru pun muncul kasus serupa. Tim penilai mematok angka Rp 1,9 juta per meter persegi, tetapi para penghuni lahan menuntut Rp 15 juta per meter persegi.

Junaedi menambahkan, ada empat bidang lahan yang belum bebas di Kalibaru. Namun, lokasinya berada di luar titik yang diperlukan untuk membangun tiang jalan tol. Masalah seperti ini seharusnya bisa segera diselesaikan dan tidak mengganggu kelangsungan proyek.

Tol Tanjung Priok diharapkan menjadi solusi sementara mengatasi kemacetan di Kawasan Tanjung Priok. Satu lajur jalan diperkirakan mampu menampung sekitar 1.500 kendaraan per jam, separuh dari kapasitas jalan yang ada saat ini. Keberadaannya bakal memperlancar pengangkutan barang dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Leave a reply