Produksi Ikan Tangkap Masih Rendah

PALU, KOMPAS – Produksi perikanan tangkap di Sulawesi Tengah dinilai masih rendah dibandingkan dengan potensi yang ada. Selain melibatkan investor, pemerintah diharapkan juga memberdayakan nelayan untuk menggenjot produksi.

“Sulawesi Tengah memiliki perairan yang sangat luas dengan potensi yang luar biasa. Namun, produksi tidak sebanding dengan potensi yang ada. Diperkirakan, baru sekitar 60 persen potensi perikanan yang tergarap,” kata dosen perikanan Fakultas Kelautan Universitas Tadulako, Palu, Sulteng, A Masyahore, . Kamis(4/ 9), di sela-sela acara diskusi bertajuk Regulasi dan Intervensi Pemerintah pada Pengembangan 11 Agribisnis Kelautan. Produksi perikanan tangkap saat ini mencapai 400.000 ton per tahun.

Sulawesi Tengah (Sulteng) memiliki garis panlai lebih dari 4.000 kilometer yang membentang di Teluk Tomini, Teluk Tolo, Laut Sulawesi, Laut Maluku, dan Selat Makasar. Dua dari 12 kabupaten adalah kepulauan.

Menurut Masyahore, rendahnya produksi perikanan tidak terlepas dari kondisi sarana produksi, yaitu kapal. Kebanyakan nelayan menggunakan armada kecil yang berdampak pada rendahnya tangkapan. Padahal, sarana produksi merupakan infrastruktur utama dalam perikanan. “Nelayan dari luar Sulteng dengan armada besar justru yang lebih banyak mengambil ikan. Ini merugikan nelayan,” ujarya.

Untuk meningkatkan produksi, Masyahore meminta pemerintan memfasilitasi nelayan dengan sarana produksi yang memadai. Ini bentuk pemberdayaan dan intervensi terhadap nelayan yang selama ini melaut secara tradisional dengan perahu kecil: “Selain itu, pemerintah juga mengundang swasta untuk berinvestasi pada sektor produksi.Tentu dengan jaminan pasar dan1 berbagai kemudahan, misalnya keringan pajak,” katanya.

Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo, pemerintah memiliki rencana untuk meningkatkan produktivitas perikanan tangkap hingga 80 persen. Untuk mencapai target itu, pasar dan infrastruktur disiapkan.

“Strategi untuk meningkatkan nilai tambah sudah ada dalam agenda. Produk olahan yang akan digarap antara lain pindang dan perbanyak industri pengolahan, seperti abon ikan. Perikanan harus berorientasi pasar, bukan profit. Jika berorientasi pasar, bisnis perikanan harus dipastikan berkelanjutan,” ujamya.

Pemerintah provinsi juga mengantisipasi praktik perikanan tangkap yang merusak, seperti pengeboman dan kelebihan tonase kapal. Sepanjang 2013, terdaput empat kasus pengeboman dan tiga pelanggaran tonase yang diproses ke pengadilan. Titik paling rawan di Teluk Tomini. “Produksi tidak boleh mengabaikan konservasi, keseimbangan ini selaludijaga,” ujar hassanuddin.

Nilai tambah

Di Surabaya dan Sidoarjo, WWF-lndonesia bekerja sama dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur melakukan pendampingan terhadap masyarakat nelayan. Mereka berupaya mencari terobosan untuk mengolah kerang menjadi produk makanan siap saji guna menaikkan harga jual.

“Potensi kerang di Pantai Kenjeran dan Sedati sangat besar. Sebelumnya cuma diambil oleh nelayan dan langsung dijual sehingga harga murah,” ujur Eka Dian Savitri dari Divisi Advokasi KPI Jatim, pekan lalu.

Harga kerang mentah hanya Rp 5.000 sampai Rp 7.000 perkilogram. Daging kerang atau kerang kupasan juga tidak tinggi, berkisar Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per kilogram. Rendahnya harga membuat nelayan pencari kerang sulit meningkatkan taraf kehidupun mereka.

Selain itu, dengan harga jual murah, nelayan pun terdorong melakukan pengambilan besar-besaran untuk menaikkan volume penjualan. Mereka tidak lagi mengambil secara selektif dengan memperhatikan kelangsungan produksi kerang dan ekosistem perairan. (kompas)

Leave a reply