Nelayan Harapkan Suplai BBM Aman

BANDA ACEH, KOMPAS — Nelayan tradisional tidak mempermasalahkan keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Bagi mereka, yang utama adalah suplai BBM untuk nelayan aman sehingga mereka tidak terhambat melaut hanya karena tidak ada BBM. Bagi nelayan, tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.

Di Banda Aceh, dua hari terakhir sebagian besar nelayan tradisional di kawasan Gampong/ Kampung Nelayan Lampulo tidak dapat melaut karena stok BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) Lampulo kosong. Bagi nelayan, kondisi itu berdampak lebih berat dibandingkan dampak kenaikan harga BBM.

Safrizal (26), nelayan, mengatakan, BBM adalah kebutuhan dasar melaut. ”Kalau begini (stok BBM kosong), kami sama saja menganggur karena tidak punya kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” ujarnya, Selasa (18/11).

Nelayan yang juga pemilik Kapal Motor Rahmat Illahi di Lampulo, Abu Bakar (51), mengatakan, ketiadaan BBM juga merugikan pemilik kapal. Ini karena pemilik kapal sudah membayar upah dan membeli kebutuhan logistik anak buah kapal untuk melaut. ”Para anak buah kapal ini sifatnya dikontrak ketika akan melaut. Upah dan logistik mereka harus tetap dipenuhi walaupun melautnya tertunda atau batal,” ujarnya.

Modal melaut sekitar Rp 20 juta per tujuh hari antara lain untuk upah anak buah kapal, kebutuhan logistik, dan BBM. ”Jika harga BBM naik dan stok selalu tersedia, nelayan masih bisa berupaya untuk membelinya,” kata Abu Bakar.

Pengelola SPBN Lampulo, Amiruddin, mengatakan, ketiadaan BBM itu karena suplai dari Pertamina tersendat. Selain itu, kebutuhan BBM untuk kawasan Lampulo memang tidak mencukupi. Pertamina membatasi suplai BBM ke SPBN Lampulo 198.000 liter per bulan, sedangkan kebutuhan nelayan di Lampulo sekitar 300.000 liter per bulan. Di Lampulo ada sekitar 100 kapal berkapasitas 30 gros ton (GT) dan sekitar 50 kapal berkapasitas 10-15 GT.

”Kami telah berkoordinasi dengan pihak Pertamina untuk menambah suplai BBM ke SPBN Lampulo, tetapi belum mendapatkan respons positif hingga sekarang,” ujar Amiruddin.

Manajer Pemasaran Pertamina Cabang Aceh, Aribowo, mengatakan, suplai BBM ke SPBN Lampulo sudah ditetapkan secara permanen. Jika nelayan masih kekurangan, mereka bisa membeli BBM dengan jeriken ke stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) menggunakan surat rekomendasi dari panglima laot (ketua adat nelayan tradisional Aceh) serta dinas kelautan dan perikanan setempat.

Aribowo mengatakan, pihaknya terus berupaya meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk nelayan. ”Paling tidak Pertamina tengah membangun tujuh SPDN (solar packed dealer nelayan) baru di seluruh Aceh,” ujarnya.

Bisa ditoleransi

Di Jawa Tengah, nelayan di pesisir selatan Kabupaten Kebumen dan Cilacap kemarin tetap melaut kendati harga solar naik Rp 2.000 per liter. Bagi mereka, kenaikan itu masih bisa ditoleransi sepanjang pemerintah menjamin ketersediaan BBM yang jadi modal utama melaut.

”Bagi kami, lebih sengsara jika waktu panen seperti saat ini ternyata solar habis. Kalau saat panen seperti ini jangan sampai stok langka. Hal itu yang lebih membunuh nelayan,” ujar Simin (56), nelayan di pesisir Pantai Argopeni, Kabupaten Kebumen.

Sutriyono (40), nelayan di Pantai Ayah, Kebumen, mengatakan, jika BBM langka, nelayan tak bisa melaut. ”Tetapi kalau mahal, kami masih bisa membelinya, apalagi jika hasil tangkapan melimpah,” katanya.

Seperti panen ubur-ubur saat ini, dalam sehari melaut, setiap perahu nelayan bisa mendapatkan 1,5 ton ubur-ubur. Dengan harga jual di tingkat pengepul sekitar Rp 1.000 per kilogram, berarti setiap perahu nelayan bisa memperoleh sekitar Rp 1,5 juta. Sekali melaut, nelayan membutuhkan sekitar 30 liter solar. Hasil tangkapan itu dikurangi modal BBM Rp 225.000.

”Itu (hasilnya) dibagi tiga nelayan yang mengisi satu perahu. Jadi setiap nelayan masih ada simpanan Rp 300.000 setiap hari,” ujar Sutriyono.

Ketua KUD Mino Saroyo Cilacap Untung Jayanto mengatakan, selain menjamin ketersediaan solar, pemerintah juga harus mencabut pengurangan kuota solar sebesar 20 persen bagi nelayan.

Sementara itu, Abdurohim, nelayan pencari kerang di Pantai Nambangan, Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, kenaikan harga BBM membuat hidupnya semakin susah. Kondisi laut tidak menentu, sementara harga jual kerang tidak berubah setahun terakhir, yaitu sekitar Rp 1.000 per kg. (Kompas)

Leave a reply