Lino: Proyek Cilamaya Disetop Saja

JAKARTA—Rencana pemerintah mengembangkan Pelabuhan Cilamaya justru dinilai BUMN jasa kepelabuhanan PT Pelindo II tidak perlu diteruskan menyusul akan rampungnya pembangunan Pelabuhan New Priok di Kalibaru, Jakarta Utara.

Direktur Utama PT Pelabuhan In donesia (Pelindo) II Richard Joost Lino mengatakan awal mula rencana pembangunan Cilamaya adalah untuk membantu (back up) Pelabuhan Tanjung Priok yang ketika direncanakan hanya akan dikembangkan seluas 1 km dengan
kapasitas tampung 1,5 juta TEUs.

Namun, seiring dengan pembangunan New Priok, total kapasitas tampung peti kemas jika digabungkan dengan Pelabuhan Tanjung Priok bisa mencapai 20 juta TEUs.

Dengan demikian, ucapnya, rencana pengembangan Cilamaya tidak lagi diperlukan. Pada tahap awal, imbuhnya, Container Terminal (CT) I New Priok juga akan selesai dan mulai beroperasi pada pertengahan 2015. “Kalau Priok 20 juta TEUs, mungkin baru 2040 [logistik] butuh Cilamaya,” ujarnya, Rabu (1/10).

Namun, Ketua Umum Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto berbeda pandangan. Dia mengatakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya perlu diteruskan sebagai penunjang dari industri yang mulai tumbuh di Jawa Barat.

Nantinya, Cilamaya juga akan membuat para pemilik barang memiliki banyak pilihan pelabuhan pada saat mendistribusikan barangnya. “Jangan sampai kita [Indonesia] dinilai tidak konsisten oleh investor dari luar negeri.”

Carmelita yang juga Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Logistik mengatakan sejauh ini pelaku usaha logistik dan pelayaran mendesak agar Pelabuhan

Cilamaya segera dibangun. Ini karena Tanjung Priok sudah tidak mendukung sistem logistik nasional yang efisien lagi. Meskipun New Priok telah selesai dibangun, katanya, posisi Pelabuhan Tanjung Priok yang berada di tengah kota akan berkontribusi besar pada kemacetan sehingga memicu besarnya biaya logistik.

Selama ini, sekitar 60%—70% arus barang logistik nasional ditangani melalui Tanjung Priok. Sementara itu, potensi bisnis logistik yang mencapai Rp1.400 triliun rupiah per tahun. Dengan demikian, bisnis logistik yang berputar dengan gerbang utamanya adalah Tanjung Priok mencapai di atas Rp500 triliun.

Menurutnya, operator pelabuhan Tanjung Priok juga tidak perlu takut bersaing dengan kehadiran Cilamaya yang berada pada hinterland yang nantinya sama, karena kepentingan masyarakat harus diutamakan.

“Solusinya, beban Priok harus dibagi dengan mempersiapkan pelabuhan pengganti atau pelabuhan yang lebih besar sekelas Tanjung Priok,” ucapnya.

PERGESERAN ALUR

Adapun, terkait dengan polemik pembangunan Cilamaya yang dinilai akan mengganggu pipa gas milik PT Pertamina, Kementerian Perhubungan telah mengusulkan pergeseran alur pelayaran Cilamaya 3.000 meter ke arah barat dengan jarak bebas anjungan
sejauh 5.000 meter.

Usulan Kemenhub itu merupakan tindak lanjut dari hasil kajian konsultan independen Mott McDonald dan DNV-GL serta Booz & Co. sebagai Supervisor Consultant pada Juni 2014.

Selain itu, sepanjang alur pelabuhan di Cilamaya juga akan diberikan sinyal-sinyal sebagai penanda jalur pelayaran kapal, sekaligus menentukan lokasi larangan melego jangkar di beberapa titik yang terdapat pipa gas.

Data Kemenhub menunjukkan pengerjaan pembangunan Cilamaya diperkirakan memerlukan total biaya Rp34,5 triliun yang dibagi dalam dua tahap.

Pertama, total biaya yang dibutuhkan Rp23,9 triliun. Pada tahap ini, pembangunan infrastruktur terdiri dari terminal peti kemas berkapasitas 3,75 juta TEUs, car terminal berkapasitas 1.030.000 unit CBU. (Bisnis Indonesia)

Leave a reply