KKP Gandeng Asing Kembangkan Olahan Rumput Laut

JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjajaki kerja sama dengan
sejumlah negara asing untuk mendongkrak kuantitas dan kualitas produksi olahan rumput laut jenis karaginan, di antaranya Swiss. Melalui kerja sama tersebut diharapkan produksi karaginan di Tanah Air akan melimpah, sehingga impor karaginan yang pada 2013 mencapai 334.408 kilogram (kg) bisa ditekan.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut P Hutagalung mengungkapkan, impor olahan rumput laut jenis karaginan terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2012, impor karaginan mencapai 247.767 kg dan meningkat menjadi 334.408 kg pada tahun lalu. Kondisi itu menyebabkan kuota impor karaginan menjadi membengkak walaupun produksi rumput laut di dalam negeri melimpah. Keterbatasan teknologi dalam mengolah rumput laut menjadi karaginan merupakan masalah utama Unit Pengolahan Rumput Laut (UPRL) dalam negeri. “Untuk mengatasinya, kami sedang mempertimbangkan melakukan joint venture dengan negara asing untuk menggenjot harga olahan rumput laut jenis karaginan yang belum kompetitif di pasar internasional,” kata dia, pekan lalu.

Saut mengungkapkan, saat ini terdapat 37 UPRL yang beroperasi di Indonesia. Sebanyak 14 UPRL di antaranya mengolah agar-agar, 21 UPRL mengolah rumput laut menjadi semi karaginan, dan hanya dua UPRL yang mengolah rumput laut hingga menjadi karaginan. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia karena ternyata harga karaginan
5-6 kali lipat dari semi karaginan. “Masalahnya di teknologi, teknologi di Indonesia hanya bisa menghasilkan olahan coklat, di luar negeri bisa putih. Hal ini pula yang membuat rumput laut Indonesia tidak kompetitif, sementara di Filipina yang menggandeng Denmark bisa membuat karaginan putih,” kata Saut.

Dia mengatakan, kerja sama sejenis dengan Filipina-Denmark tengah dikaji di Indonesia,
misalnya dengan Swiss, agar UPRL memproduksi karaginan sehingga bisa bersaing di pasar Internasional. Kerja sama Filipina-Denmark mampu menghasilkan karaginan yang harganya lebih murah namun kualitasnya jauh lebih baik dari yang diproduksi di Indonesia. “Beberapa perusahaan domestik menjajakidengan Swiss, sedang dipetakan. Kerja sama itu menyangkut pelatihan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja dalam membuat karaginan, juga mengadopsi teknologinya, sehingga karaginan Indonesia
melimpah dan bisa bersaing dengan produk dari negara lain,” jelas Saut.

Di tempat terpisah, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Maritim IPB Suhana mengatakan, kualitas karaginan dalam negeri perlu dinaikkan standarnya dan itu memerlukan teknologi. Namun demikian, idealnya KKP tidak perlu memfasilitasi kerja sama UPRL di Indonesia dengan negara asing, melainkan cukup melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPTT), dan Lebaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). “Indonesia punya orang-orang yang mumpuni, hanya saja tidak terekspos,” ungkap Suhana.

Suhana mengatakan, apabila berkerja sama dengan negara lain akan memakan biaya dan belum tentu teknologi dan ilmu dari mereka bisa sepenuhnya diserap oleh pelaku usaha dalam negeri. Sebaliknya, melalui kerja sama dengan para ahli dalam negeri, selain biayanya lebih murah juga akan membuat semua pihak sama-sama berkembang. Selain teknologi, pemerintah perlu melakukan pendampingan bagi pembudidaya rumput laut dari panen sampai menjadi produk olahan. “Sekarang ini, begitu panen rumput laut hanya dijemur dan digeletakkan begitu saja, drhingga kualitasnya kurang bagus. Setidaknya kalau ada pendampingan dari pemerintah dapat diperbaiki kualitasnya,” kata dia. ( Ivestor Daily )

Leave a reply