Kebijakan Moratorium Izin Kapal Membuat Kalangan Pengusaha Cemas
Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang menerapkan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap untuk kapal eks asing menuai pro kontra.
Para pelaku usaha meminta kejelasan kapal eks asing yang dimaksud. Mereka juga meminta kapal yang masih melaut tapi izinnya habis tetap bisa mendarat.
PASCA dilantik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti langsung tancap gas untuk berbenah. Belum genap satu bulan kepemimpinannya, ia sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 56 tahun 2014 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Aturan ini mulai berlaku sejak 3 November 2014 hingga 30 April 2015. Pasal 1 beleid tersebut menyebutkan, penghentian sementara izin yang dimaksud khusus bagi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri.
Penghentian sementara perizinan itu mencakup tidak dilakukannya penerbitan izin baru bagi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Susi sendiri mengakui, kebijakan itu sifatnya sepihak tanpa terlebih dahulu meminta pertimbangan dari seluruh pemangku kepentingan atau stakeholder di bidang perikanan. “Saya meminta moratorium enam bulan. Selama enam bulan tidak diberikan izin baru dan
perpanjangan yang ada, terutama kapal eks asing,” kata Susi.
Menurut Susi, kebijakan ini, perlu dilakukan untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya hayati yang ada di laut. Selain itu, dengan moratorium ini akan dilakukan pembenahan terkait kelengkapan data kapal.
Berdasarkan data KKP, jumlah kapal ikan tangkap dengan bobot diatas 30 gross ton (GT) mencapai 5.300 unit. Dari jumlah itu, sebanyak 1.200 unit kapal merupakan eks asing. Bahkan, diduga jumlah kapal eks asing ilegal yang tidak terdaftar di KKP jumlahnya bisa lebih tiga kali lipatnya.
Tentu saja, penerapan kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Edy Yuwono, mengatakan, secara prinsip pihaknya mendukung langkah KKP tersebut. Namun yang perlu menjadi kejelasan adalah mengenai kapal eks impor. “Kalau eks impor itu pemiliknya dari Indonesia, bagaimana?” kata Edy.
Hingga saat ini, jumlah anggota Astuin mencapai lebih dari 500 unit kapal. Dari jumlah itu, mayoritas kapal yang digunakan diproduksi di dalam negeri. Edy menghitung, untuk kapal yang diproduksi dari luar negeri jumlahnya tidak mencapai 5%. Bobot kapal dari anggota Astuin juga beragam mulai 30 GT hingga 500 GT.
Senada dengan Edy, James Then, Ketua Himpunan Nelayan Purse Seine Indonesia mengatakan, secara prinsip, pihaknya tidak ada masalah dengan beleid moratorium izin kapal tersebut. Namun demikian, ia meminta kepastian bagi pemilik kapal yang saat ini sedang melaut untuk dapat mendarat, walaupun Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) habis.
Menurut James, saat ini, ada lebih dari 10 kapal yang sudah habis SIPI-nya tetapi tidak berani pulang mendarat. “Mereka (nelayan) tidak berani pulang, takut ditangkap. Tujuannya baik, tapi efek samping juga ke kapal lokal. Sasarannya adalah kapal asing,
tapi praktik di lapangan, semua kena moratorium,” ujar James.
Jumlah anggota Himpunan Nelayan Purse Seine Indonesia sendiri tercatat mencapai 200 unit kapal yang tersebar di beberapa daerah, utamanya di daerah pantai Utara Jawa (Pantura). James juga berani menjamin 100% anggotanya merupakan nelayan lokal.
Tidak beroperasinya kapal tentu memberikan dampak yang besar bagi perekonomian nelayan. Pasalnya, selain nilai ekonomi dari hasil tangkapan ikan, operasional kapal juga sarat dengan padat karya. Setidaknya, satu unit kapal di atas 30 GT membutuhkan sebanyak 35 orang hingga 40 orang anak buah kapal (ABK).
Selain itu, biaya perawatan yang tinggi mengharuskan kapal dapat beroperasi maksimal. Untuk perawatan rutin saja, satu unit kapal membutuhkan biaya Rp 50 juta setiap tahun. Bila terjadi kerusakan serius, pengeluaran lebih besar lagi. (Kontan)
Leave a reply
Leave a reply