INSA: Kemenhub Harus Turun Tangan

JAKARTA—Merasa tak dilibatkan dalam pembahasan cost recovery, INSA mendesak Kementerian Perhubungan segera turun tangan mengevaluasi rencana penerapan pungutan yang dilakukan sejumlah operator di Pelabuhan Tanjung Priok itu.

Carmelita Hartoto, Ketua Umum Indonesia National Shipowners’ Association (INSA), mengatakan pihak nya tidak mengetahui terkait ada nya rencana penerapan cost recovery
itu sebelumnya.

Menurutnya, pengenaan CR itu memang tidak langsung dikenakan kepada pihak pelayaran, tetapi hanya di kenakan kepada pemilik barang.

Kendati demikian, imbuhnya, penerapan CR tentu saja berdampak pada biaya logistik nasional yang terancam membengkak dari posisi saat ini sekitar 26% dari PDB. “Kami akan mendiskusikan ini dengan Kemenhub untuk me-review [rencana penerapan CR],” ujarnya, Rabu (29/10).

Cost recovery (CR) akan diterapkan di lima terminal peti kemas yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), Multi Terminal Indonesia (MTI), TPK Koja, Mustika Alam Lestasi (MAL), dan Terminal 3 Pelabuhan Priok pada 1 November 2014.

Berdasarkan Surat Edaran Dirut JICT Albert Pang No.UM.338/3/17/ JICT-2014, pemberlakuan CR itu sebesar Rp75.000 per boks peti kemas ekspor impor yang dibongkar muat di tempat-tempat itu.

Di luar lima terminal itu, beban CR dikenakan Rp65.000 per boks di tambah PPN, yang ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dirut PT Pelabuhan Tanjung Priok. Pengenaan
CR peti kemas ekspor itu juga mengacu pada Surat Direksi PT Pelindo II No. KU.300/17/10/2/PI.II-14.

Pengamat industri maritim dari The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai rencana penerapan CR tidak lazim baik dalam penggunaan istilah maupun
dalam penerapannya.

Menurutnya, jika penerapan itu bersifat sementara dan hanya untuk menggantikan pendapatan sebelum dinaikkannya biaya container handling charge (CHC) kepada Ke menterian Perhubungan, sebaiknya pihak operator pelabuhan lebih memilih menunggu keputusan pemerintah.

Oleh karena itu, katanya, rencana itu akan memunculkan berbagai pertanyaan baru terhadap istilah dan penerapan di pelabuhan. “Tidak lazim saja. Tunggu saja kenaikan CHC dan tidak usah dikenakan CR.”

Selain itu, imbuhnya, kondisi demikian akan menimbulkan efek fluktuasi biaya pelabuhan yang sulit ditebak oleh pengguna jasa, sekaligus akan membuat pelayaran
Asing sulit mengikuti iklim bisnis pelabuhan di Indonesia yang berubah-ubah.

“Efek ongkos di pelabuhan kita jadi gonjang ganjing dan membuat pelayaran asing jadi bertanyatanya,” tutur Siswanto.

4 ASOSIASI SETUJU

Kendati INSA pusat bersikap reaktif, empat asosiasi pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok justru menyetujui pemberlakuan cost recovery peti kemas berisi muatan ekspor impor di lima terminal peti kemas itu.

Keempatnya adalah BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) DKI Jakarta, Gabungan Peng usaha Eksportir Indonesia (GPEI) DKI, Asosiasi Logistik
Dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI, dan Indonesia Na tional Shipowners Association (INSA) Jakarta Raya (Jaya).

Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan persetujuan asosiasi pengguna jasa itu sudah memenuhi mekanisme yang berlaku sesuai dengan Permenhub No. 15/2014 tentang Struktur, Jenis dan Tarif Jasa Kepelabuhanan.

Berdasarkan Permenhub itu, imbuhnya, pembahasan tarif jasa kepelabuhanan dilakukan bersama antara operator/penyedia jasa pelabuhan dan asosiasi pengguna jasa kepelabuhanan.

“Pengenaan CR peti kemas di Priok itu sudah melalui mekanisme yang berlaku sesuai aturan Permenhub No. 15/2014,” ujarnya. Dia mengatakan pengenaan CR bongkar muat peti kemas isi di Priok bersifat sementara. (Bisnis Indonesia)

Leave a reply