Indonesia Harus Tegaskan Klaim Natuna Sebelum Dicaplok China

Pemerintah Indonesia harus gencar menegaskan klaim atas Kepulauan Natuna terhadap China, jika tidak ingin dicaplok Negeri Tirai Bambu itu.

HAL itu terkait ramainya konflik Laut China Selatan, di mana China merasa memiliki 90 persen wilayah kepulauan di kawasan itu.

Dilansir Reuters kemarin, analis keamanan di Universitas Pertahanan Nasional, Yohanes
Sulaiman berpendapat, China saat ini merupakan negara raksasa di Asia. Indonesia tidak punya banyak pilihan selain menegaskan klaim kepemilikan atas Kepulauan Natuna.

“Militer Indonesia benar-benar ingin mempertahankan pulau-pulau, tapi dengan apa?
Bagaimana mereka bisa melawan China?” katanya. .

Kementerian Luar Negeri Indonesia pernah mengatakan, tak ada masalah dengan China mengenai status Natuna. Namun, pihak militer dalam beberapa bulan terakhir mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas atas kepemilikan Natuna kepada dunia.

April 2014, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Moeldoko pernah berkomentar, soal peta China yang memasukkan wilayah-wilayah Natuna dalam apa yang disebut Sembilan Garis Putus-putus, batas samar yang digunakan dalam China untuk mengklaim sekitar 90 persen dari Laut China Selatan. Hal itu membuat status Natuna rawan.

“Pemerintah tahu tidak ada pilihan yang bagus. Indonesia tidak bisa melawan China, tetapi Indonesia harus menegaskan klaimnya. Jika tidak, Indonesia akan menjadi bahan tertawaan,” ujar Sulaiman.

Sistem Peringatan Dini
Dengan meningkatnya ketegangan maritim antara China dengan Filipina dan Vietnam,
Moeldoko akan mengirimkan pasukan ke Natuna untuk mengantisipasi ketidakstabilan di
Laut China Selatan dan berlaku sebagai sistem peringatan dini bagi Indonesia.

Angkatan Udara Indonesia berencana meningkatkan mutu pangkalan udara Ranai untuk
mengakomodasi jet-jet tempur dan menyerang helikopter.

Secara resmi, China dan Indonesia tidak berseteru atas kedaulatan kepulauan tersebut. Kedua pihak sepakat wilayah itu termasuk dalam Provinsi Riau. Indonesia juga tidak termasuk dalam lima negara (Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan dan Brunei) yang
menantang klaim-klaim ekspansif Beijing di Laut China Selatan.

Hal ini memungkinkan Jakarta untuk memainkan peran netral dan menjadi mediator dalam sengketa yang semakin memanas dan rentan tersebut.

“Namun peran kecil Natuna dalam drama wilayah ini mencerminkan kekhawatiran yang
semakin meningkat mengenai tindakan China dalam Nine Dash Line (garis putus-putus),”
ujar Ian Storey, ahli keamanan di Lembaga Studi Asia Tenggara (ISEAS) di Singapura.

Meski merupakan kota terbesar di Kepulauan Natuna yang terpencil dan penduduknya sedikit, Ranai bisa disebut kota tidur. Hanya ada beberapa mobil dan dua lampu lalulintas di jalanan. Gunung berselimut awan menjulang menyerupai gunung berapi tidur. Pantai-pantai yang ada di dekat Ranai indah tak terjamah dan sepi, menanti para turis.

Dari Ranai, agak sulit melihat Natuna, dengan 157 pulau yang sebagian besar tak berpenghuni di lepas pantai barat laut Kalimantan. Mereka sadar bahwa Natuna merupakan harta karun. Airnya yang kaya sering dijarah oleh para nelayan asing berkapal
pukat. Di bawah zona ekonomi eksklusifnya adalah lapangan gas Natuna Timur, salah
satu cadangan gas tak terjamah terbesar di dunia.

Sejak 2010, Indonesia belum berhasil mendapatkan klarifikasi melalui PBB mengenai dasar hukum bagi Nine-Dash Line. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada April lalu mengatakan, Indonesia telah “menyimpulkan” dari China bahwa garis itu tidak melintasi wilayah Indonesia. Namun, hal itu ditakuti banyak orang di Natuna. Reuters JPYB/DAY

Leave a reply