Ginsi: Penunjukan BKI oleh Kemenhub Sepihak

JAKARTA—Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia menilai penunjukan PT Biro Klasifikasi Indonesia sebagai pelaksana survei kondisi fisik peti kemas di empat pelabuhan utama dilakukan sepihak oleh Kementerian Perhubungan.

Subandi, Wakil Ketua Umum BPP Ginsi Bidang Kepelabuhanan dan Kepabeanan, mengatakan penunjukan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) tak melibatkan langsung pemilik barang.

Dia mengatakan seharusnya Kemenhub dan Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai kepanjangan tangan pemerintah tidak boleh menunjuk lembaga survei secara sepihak tanpa memberikan pilihan kepada importir untuk melaksanakan kegiatan pekerjaan pemeriksaan kondisi peti kemas.

Apalagi, biaya untuk survei yang menanggung adalah pihak lain atau importir. Dengan demikian, penunjukan langsung pelaksana survei dinilainya bisa menimbulkan prasangka negatif.

Semestinya, pelaksanaan survey peti kemas diserahkan kepada pihak-pihak yang terkait dalam hal ini INSA (Indonesian National Shipowners’ Association), Pelindo, ALFI (Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia) di daerah serta Ginsi.

“Pemerintah seharusnya hanya menjadi wasit ataupun fasilitator,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (11/9).

Sebelumnya, Kemenhub mengeluarkan Maklumat Pelayaran (Mapel) melalui Surat Dirjen Perhubungan Laut No. PK.109/1/2/DJPL-14. BKI mendapatkan penugasan survei peti kemas di empat pelabuhan utama untuk menghilangkan dugaan praktik rente di pelabuhan.

Dia mengatakan BKI adalah lembaga pemerintah yang selama ini diberikan kewenangan untuk menyertifikasi alat angkat dan alat angkut apakah masih laik pakai atau tidak di dalam survei kelayakan mereka.

Adapun, yang diinginkan Ginsi, imbuhnya, adalah survey kondisi yang menerangkan apakah peti kemas ada kerusakan karena pemakaian atau tidak dalam proses bisnis logistik serta mampu menunjukkan titik kerusakan bila benar benar terjadi.

“Itu bisa dikerjakan oleh perusahan surveyor apa saja sepanjang memiliki izin, peralatan dan teknologi yang mampu menjawab harapan importir,” katanya.

TOLAK DITAGIH

Subandi mengatakan Ginsi memang mengusulkan agar dilakukan survey yang benar dengan memanfaatkan teknologi saat pembuatan dokumen equipment interchange receipt b(EIR). Namun, itu bukan karena ada kesepakatan antara BKI dan ALFI sebagaimana Mapel yang dirilis Dirjen Hubla Kemenhub tersebut.

“Silahkan saja kalau Dirjen Hubla menugaskan BKI sebagai surveyornya asalkan yang bayar biaya survey itu pemerintah ataupun ALFI dan jangan menagihkan kembali kepada importir,” tuturnya.

Penegasan itu disampaikan Ginsi dengan alasan karena belum pernah ada pembicaraan atau kesepahaman dengan Ginsi soal adanya kontrak kerja antara BKI dan ALFI tentang pelaksanaan survei peti kemas di bempat pelabuhan utama Indonesia.

Keempat pelabuhan utama itu yakni Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan Sumatra Utara, dan Makassar.

“Oleh karena itu, Ginsi menolak jika nantinya importir yang menanggung biaya survei BKI. Kegiatan survei mesti dilakukan surveyor independen dan itu domain pemilik barang yang memilih,” ujar Subandi.

Adapun, Maklumat Pelabuhan Dirjen Hubla Kemenhub menyatakan pelaksanaan survei peti kemas di empat pelabuhan utama tadi menindaklanjuti kontrak kerja
antara PT BKI dan DPP-ALFI untuk melaksanakan survei container berbasis teknologi informasi.

Survei dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kerusakan kontainer dalam rangka penagihan uang jaminan kerusakan atas penggunaan kontainer yang dijaminkan oleh anggota ALFI.

Ketika dimintai konfirmasi Bisnis, Dirut PT BKI Rudiyanto menjelaskan BKI mematok tarif survei peti kemas di pelabuhan berkisar Rp80.000-Rp110.000 per peti kemas. ”Yang akan menanggung biaya survei itu pengguna jasa kami dan ini sifatnya direct,” ujarnya.

Ketua Umum DPP-ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan dasar kesepakatan asosiasinya dengan BKI adalah untuk mencari kepastian biaya logistik akibat tidak transparansinya kegiatan pemeriksaan kondisi peti kemas impor yang divalidasi dalam dokumen EIR.

Selain itu, ada banyak keluhan dari anggota ALFI atas pengenaan uang jaminan peti kemas impor oleh agen pelayaran global sebelum menebus DO (delivery order). “ALFI ingin sesuatu yang pasti. Lebih baik kami membayar sesuatu yang pasti tetapi ALFI tetap mendesak tak ada lagi uang jaminan peti kemas sebelum
menebus DO ke pelayaran,” ujarnya.

Yukki mengatakan jika BKI mematok tarif survei Rp80.000-110.000/peti kemas, itu merupakan hal wajar asalkan angka tersebut transparan komponenenya.

Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan
soal kisruhnya pengenaan uang jaminan peti kemas dan pelaksanaan dokumen EIR di pelabuhan karena banyak pihak berkepentingan dalam bisnis logistik di Tanah Air. (Bisnis Indonesia)

Leave a reply