Ganggu Produksi Migas, Pelabuhan Cilamaya Ancam APBN

JAKARTA – Pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berpotensi mengancam APBN, akibat makin berkurangnya produksi minyak dan gas (migas). Pasalnya, operasi dan produksi Blok Offshore North West Java (Blok ONWJ) di lepas pantai di kabupaten itu harus ditutup.

Kekhawatiran itu disampaikan pengamat energi dan ekonom Darmawan Prasodjo. “Karena itu, pembangunan pelabuhan Cilamaya perlu dipertimbangkan lagi,” ujarnya, saat dimintai pandangannya soal pembangunan Pelabuhan Cilamaya, di Jakarta, kemarin.

Menurut Darmawan, pembangunan Pelabuhan Cilamaya akan mengurangi produksi migas nasional akibat Blok ONWJ harus ditutup. Sebab, jalur pelayaran dari dan menuju pelabuhan tersebut akan mengganggu pipa gas PT Pertamina EP yang memasok gas untuk industri di Jawa Barat dan Bus TransJakarta, serta pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priok di Jakarta. Jika pemerintah tetap ngoto membangun pelabuhan di Cilamaya, maka tidak mau harus negara menambah impor migas. Tentu hal itu berimplikasi membengkaknya APBN.

Atas alasan itu, tegas Darmawan, pemerintah harus mengkaji ulang pembangunan pelabuhan yang berlokasi di Kecamatan Tempuran, Karawang tersebut. “Bahwa lokasinya kebetulan di dekat kawasan industri, namun jalur pelayarannya akan melewati
anjungan lepas pantai. Banyak sekali pipa di dasar laut yang berpotensi terganggu,” ujarnya.

Ia menyarankan agar lokasi pelabuhan dipindahkan ke tempat lain yang tidak mengganggu keberlangsungan salah satu industri terpenting, sehingga tercapai win-win solution. Darmawan menandaskan, harusnya pembangunan sektor transportasi dan industri tidak mematikan sektor energi (minyak dan gas), atau pun sebaliknya. Sebab, kedua sektor itu sama pentingnya, terlebih minyak dan gas.

“Ini membuktikan bahwa perencanaan pembangunan tidak berjalan terintegrasi, sehingga pembangunan di sektor yang satu mematikan sektor lain. Ini kan bagian dari satu rancangan, yang seharusnya terintegrasi dan saling berkomunikasi lintas sektoral dari awal, sehingga tidak terjadi perencanaan pembangunan, apapun namanya, tanpa konsultasi dengan stakeholder di sektor lain. Inilah egoisme sektoral,” tandasnya.

Pengamat geopolitik dan ekonomi Dirgo W Purbo sempat menyebutkan, bahwa menurunnya produksi migas akan memaksa Indonesia harus menambah impor, terlebih saat ini produksi nasional hanya mencapai 780 ribu barel per hari.
“Saat ini jumlah produksi minyak nasional hanya 780 ribu barel per hari, tidak sampai 800 ribu barrel. Padahal target produksi/lifting minyak bumi Indonesia harusnya mencapai 1 juta barrel per hari,” ujarnya.

Totok Dariyanto, Anggota Komisi Blok ONWJ berproduksi sejak 1971 dan saat ini dioperasikan oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ. PHE ONWJ memasok gas ke PT Pupuk Kujang, BBM ke Jabodetabek, serta pembangkit listrik PLN Tanjung Priok dan Muara Karang, serta SPBE Bus TransJakarta. Selain itu, di blok ini terdapat pipa gas Pertamina EP yang memasok ke hampir 30 industri di Jawa Barat.

Produksi gas PHE ONWJ pada tahun 2013 sebesar 200 juta kaki kubik per hari dan PT Pertamina EP sebsar 63 juta kaki kubik per hari. Adapun rata-rata produksi minyak hariannya sebesar 40.000 barel per hari. Saat ini PHE ONWJ juga menjadi produsen minyak terbesar keempat di Tanah Air.

Apabila PHE ONWJ harus memendam pipa, diperlukan biaya lebih dari Rp 11 triliun. Adapun potensi kehilangan pendapatan akibat pembangunan pelabuhan, yakni sebesar Rp 130 triliun dan Pertamina EP sekitar Rp 1,4 triliun. Cadangan migas 750 juta barel untuk masa depan pun tidak bisa dimanfaatkan apabila Pelabuhan dibangun di lokasi ini (es)

Leave a reply