Ekspor CPO dari Pelabuhan Teluk Bayur Terancam Mandek

JAKARTA. Perdagangan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari Teluk Bayur terancam. Pasalnya, para pengusaha tangki timbun mengancam mogok bila kebijakan kenaikan tarif handling atau bongkar muat pelabuhan tetap diberlakukan.

Keberatan tersebut terjadi setelah PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II berniat meningkatkan tarif handling hingga 245%. Wakil Ketua Asosiasi Tangki Timbun Teluk Bayur Gunawan Ginting menjelaskan, per 1 Oktober mendatang, Pelindo II bakal memberlakukan biaya handling menjadi Rp 30.000 per ton.

Padahal saat ini, biayanya hanya sebesar Rp 8.686 per ton. Tentu saja, bila hal tersebut
diterapkan akan memberatkan kalangan pengusaha. Gunawan bilang, bila ada opsi
kenaikan biaya, pihaknya meminta agar tidak sebesar keinginan Pelindo II. “Kami sudah kasih tarif kesepakatan Rp 13.550 per ton dari tarif awal,” katanya. Tarif yang diusulkan pengusaha ini sudah menghitung adanya inflasi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Jika benar-benar menjalankan ancamannya, dipastikan perdagangan CPO di Teluk Bayur bakal mandek dan mempengaruhi ekspor minyak sawit mentah secara keseluruhan.

Maklum, kapasitas CPO yang diperdagangkan melalui Teluk Bayur cukup besar. Setidaknya, setiap tahun, pelabuhan itu dapat menampung hingga 2 juta ton. Suplai CPO yang diperdagankan di Teluk Bayur tersebut berasal dari beberapa wilayah di Sumatra, seperti Sumatra Barat, Jambi, hingga pinggiran Bengkulu.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga
mengatakan, polemik yang terjadi di pelabuhan Teluk Bayur ini sudah berlangsung
selama tiga bulan terakhir ini. “Kenapa harus dipaksakan karena tingkat efisiensi jadi tidak bagus,” ujarnya.

Kebijakan menaikkan tarif handling tersebut, menurutnya, juga bertolak belakang dari kondisi persawitan yang terjadi saat ini. Di tengah tren penurunan harga CPO saat ini, seharusnya terus dilakukan penghematan devisa.

Seperti diketahui, harga CPO internasional terus tertekan dalam dua tahun terakhir. Akibat kondisi tersebut, negara produsen sawit negara tetangga yakni Malaysia membebaskan Bea Keluar (BK) CPO selama dua bulan, yakni September dan Oktober.

Bila kinerja ekspor terhambat, tentu saja hal ini bertolak belakang dengan harapan Kementerian Perdagangan (Kemdag) yang berupaya untuk membuka pangsa pasar
CPO baru. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi hambatan
dari negara tujuan ekspor utama, seperti Uni Eropa (UE), India, dan China akibat persoalan tarif dan non tarif. (Kontan)

Leave a reply