BUMN Harus Lebarkan Usaha

JAKARTA—Perusahaan pelat merah di industri pelayaran serta minyak dan gas diminta mengembangkan usaha ke pelayaran lepas pantai berkebutuhan khusus untuk menyempurnakan asas Cabotage sektor ini.

Hal ini dilakukan menyusul langkah Kementerian Perhubungan yang menerbitkan aturan
tentang pemberian batas waktu penggunaan kapal asing untuk keperluan kegiatan usaha
lain.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.10/2014 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.

Kegiatan lain yang dimaksud di antaranya seperti industri kapal lepas pantai (offshore)
berkebutuhan khusus yang dapat dioperasikan di perairan Indonesia. Beleid yang terbit
pada Maret 2014 itu sekaligus sebagai pengganti Permenhub No. 48/2011 mengenai hal yang sama.

Dalam peraturan itu, pembatasan penggunaan kapal berbendera asing untuk jenis derrick/crane, pipe/cable/ subsea umbilical riser flexible (SURF) laying barge/vessel
diberlakukan hingga Desember 2014.

Sementara itu untuk jenis kapal keruk, Kemenhub hanya memperbolehkan kapal keruk
yang berukuran lebih dari 5.000 m3 dengan batas waktu Desember 2014.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Angkutan Lepas Pantai Indonesia National Shipowners Association (DPP-INSA) Nova Y. Mugijanto mengatakan pengikutsertaan BUMN sektor pelayaran dan minyak dan gas bisa mengarah pada pemenuhan kapal offshore berkebutuhan khsusus seperti kapal pengerukan dan survey seismic.

“Tipe kapalnya khusus, berteknologi tinggi dan mahal. Pemerintah melalui BUMN kan
bisa [membangun industrinya],” ujarnya, Selasa (4/10).

Selain sebagai penyempurna dari penerapan Asas Cabotage yang telah diamanatkan dalam Inpres No.5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, peran pemerintah melalui BUMN memiliki kapal offshore berkebutuhan khusus dapat menunjang kegiatan lepas pantai di perairan nasional.

Menurutnya, keberadaan kapal asing di perairan nasional sebagai penunjang kegiatan
lepas pantai tidak lebih dari 1% dari jumlah populasi kapal berbendera Indonesia.

Adapun, beberapa kendala yang mungkin dialami para pengusaha untuk berivestasi
pada kapal offshore adalah terkait dengan model bisnis pengerjaan lepas pantai yang
kerap berjangka pendek, padahal investasi perusahaan untuk satu jenis kapal cukup
tinggi.

MEROKET

INSA mencatat sejak di terbitkannya Inpres No. 5/2005 tersebut, kemampuan industri
galangan kapal offshore meroket 104% menjadi 768 unit.

Tipe yang dimiliki pengusaha pelayaran nasional pun semakin beragam. Dari sebelumnya hanya terdiri dari sembilan tipe kapal pada 2005, sekarang mencapai 19 tipe kapal.

Adapaun, jenis kapal yang telah dimiliki perusahaan dalam negeri saat ini antara lain seperti AHTS, dising support vessel, FSRU, platform supply vessel DP2, tanker offshore, seismic, pipe laying barge dan rig.

Pada sisi lain, pengerjaan proyek lepas pantai pada tahun ini lebih lambat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.

Kondisi itu disebabkan adanya transisi peralihan pucuk kepemimpinan negara pada pertengahan tahun ini.

Diharapkan, selepas proses peralihan kepemimpinan selesai akan kembali memicu peningkatan perizinan dan kontrak pengerjaan proyek lepas pantai. (Bisnis Indonesia)

Leave a reply