Larangan Alih Muat di Laut Diprotes

MANADO, KOMPAS —  Pengusaha perikanan di Bitung, Sulawesi Utara, memprotes peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang melarang alih muat ikan di tengah laut. Peraturan itu dinilai merugikan karena pengusaha ikan harus bolak-balik ke dermaga untuk membongkar ikan hasil tangkapan.

Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Sulawesi Utara Rudy Walukow, di Bitung, Senin (1/12), meminta pemerintah meninjau kembali peraturan alih muat kapal ikan di laut (transshipment).

Sebagaimana diberitakan, alasan pemerintah meninjau kembali peraturan itu karena praktik alih muat di laut menjadi modus penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian ikan.

Anggota DPRD Kota Bitung, Keagen Koyoh, dan pemerhati perikanan Bitung, John Dumais, mendukung protes pengusaha. Menurut Koyoh, pihaknya telah menerima aspirasi pengusaha perikanan kelas menengah di Bitung yang resah dengan peraturan tersebut.

”Seandainya terus diterapkan, pengusaha bakal rugi besar,” katanya. Kebijakan itu berdampak produksi ikan di Bitung untuk dijual ke pabrik ikan.

Menurut Rudy, larangan alih muat di laut membuat ratusan pengusaha ikan di Sulawesi Utara resah. Peraturan tersebut dinilai subyektif karena diterapkan untuk semua kapal. Para pengusaha perikanan di Bitung, besok, akan berunjuk rasa menolak ketentuan itu.

Terkait dengan praktik penangkapan ikan secara ilegal, hal tersebut dapat diawasi. Biasanya, praktik itu terjadi jika ikan diangkut oleh kapal asing berukuran besar dan tidak berada dalam satu kelompok perusahaan. Selama ini, alih muat di laut dilakukan untuk penghematan dan dilakukan dalam satu manajemen usaha perikanan. Setiap kali melaut, sebuah perusahaan menyertakan dua sampai tiga kapal penangkap, purse seine (kapal pukat cincin), dan dua kapal pengangkut.

Ikan hasil tangkapan langsung dimuat di kapal pengangkut lalu dibawa ke Pelabuhan Bitung. Menurut Rudy, tugas kapal pengangkut menampung hasil kapal penangkap.Kapasitas muat kapal penangkap berkisar 10 ton-20 ton, sedangkan kapal pengangkut 50 ton hingga 60 ton. Semua kapal penangkap tidak memiliki palka untuk menampung ikan.

”Seandainya kapal penangkap hanya menghasilkan 10 ton, apakah kapal itu harus balik ke dermaga membongkar hasil tangkapan. Dari segi bahan bakar, ini pemborosan,” kata Rudy.

Menurut Rudy, sekali melaut di wilayah penangkapan ikan di Kabupaten Kepulauan Talaud, kapal penangkap membutuhkan 7 ton solar. Biaya tersebut tidak sebanding dengan 10 ton hasil tangkapan apabila harus ke pelabuhan membongkar muatannya. (Kompas)

Leave a reply