7 Pelabuhan Utama Harus Disiapkan

JAKARTA—Supply Chain Indonesia mengusulkan agar sedikitnya ada tujuh pelabuhan utama yang harus disiapkan menjadi pelabuhan yang perlu dilalui oleh jalur tol laut.

Ketujuh pelabuhan utama itu adalah Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan Batam, Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Bitung, dan Pelabuhan Sorong.

Masing-masing pelabuhan utama itu terhubung dengan 67 pelabuhan short sea shipping (SSS) yang memiliki kelas berbeda dari pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan
pelabuhan pengumpan.

Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), menjelaskan setidaknya masih terdapat tiga kendala utama yang harus dipecahkan dalam mengimplementasikan konsep tol laut gagasan pemerintahan mendatang.

Ketiga kendala itu adalah ketidakseimbangan arus muatan (imbalance cargo). Selama ini, arus muatan dari kawasan timur Indonesia ke barat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan arus muatan ke arah sebaliknya.

Kondisi ini dikhawatirkan membuat arus kapal selalu kekurangan muatan dalam pelayaran dari arah timur sehingga membuat implementasi tol laut tak berjalan optimal.
“Ketidakseimbangan arus muatan ini terkait dengan ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah,” ujarnya, Rabu (24/9).

Kedua, berkaitan dengan persyaratan penggunaan kapal berukuran 3.000 TEUs. Penggunaan kapal berukuran sebesar itu dinilai tidak dimiliki oleh perusahaan pelayaran
nasional.

Ukuran kapal yang digunakan dalam jalur tol laut seharusnya bisa disesuaikan dengan memperhatikan ketersediaan kapal misalnya dengan kapal berukuran 1.700 TEUs yang
rerata dimiliki oleh perusahaan pelayaran nasional. Penggunaan ukuran kapal ini bisa dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan volume muatan.

Ketiga, kebutuhan pendanaan untuk pengembangan infrastruktur terutama untuk pelabuhan. Pendanaan pelabuhan diharapkan bisa diupayakan melalui sinergi pendanaan berbagai pihak akibat keterbatasan APBN. Pemerintah perlu mendorong sinergi pendanaan dari BUMN, perusahaan swasta nasional, asing, dan pemerintah daerah. Skema public private partnership (PPP), imbuhnya, perlu dikembangkan dengan dukungan keberadaan bank pembangunan dan infrastruktur yang digagas dalam Visi & Misi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

HARUS BIJAK

Setijadi juga mengingatkan agar implementasi konsep ini harus dilakukan secara bijak dengan melibatkan pelayaran nasional baik pelayaran niaga maupun pelayaran rakyat sesuai dengan perannya masing-masing baik dalam jalur tol laut maupun jalur short sea shipping (SSS).

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengatakan untuk mengimplementasikan tol laut ataupun SSS, pemerintahan masa Jokowi perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pengusaha pelayaran nasional mengembangkan dan mengelola pelabuhan di Indonesia.

Saat ini, imbuhnya, sudah ada sekitar 150 badan usaha pelayaran nasional yang siap melakukan investasi di pelabuhan. Dengan demikian, implementasi tol laut dan SSS bisa lebih cepat dan murah daripada melalui PT Pelindo.

“Monopoli Pelindo harus mulai dibatasi dan diarahkan untuk mengelola pelabuhan di
luar Indonesia dalam rangka MEA [Masyarakat Ekonomi Asean] dan pengembangan
Poros Maritim,” ujarnya, Rabu (24/9).

Selama ini, tuturnya, sekitar 98% pelabuhan di Indonesia dikelola oleh Pelindo sedangkan sisanya dikelola oleh swasta yang terbukti lebih murah seperti di Pelabuhan
Samarinda. Selain itu, dwelling time pun hanya tiga hari seperti di Cikarang Dry Port.

Pada sisi lain, dia juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dan Pelindo mengubah tarif pelabuhan ke dalam rupiah sebagai alat transaksi sesuai dengan instruksi Menteri
Koordinator Perekonomian. (Yusuf Waluyo Jati) Bisnis Indonesia

Leave a reply