Transaksi Rupiah di Pelabuhan Timbulkan Polemik
JAKARTA – Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II ( Peersero) Richard Joost Lino menilai, kebijakan penggunaan rupiah dalam kegiatan transaksi di pelabuhan bisa menuai polemik dan memberi ketidakjelasan kepada investor asing. Dikhawatirkan dalam jangka panjang kebijakan tersebut membuat Indonesia tidak lagi menarik sebagai tujuan investasi.
“Kalau di pelabuhan tidak bisa pakai dolar, bisa jadi polemik. Untuk investasi jangka
panjang dan resikonya bagi investor asing menimbulkan ketidak jelasan. Padahal, Indonesia butuh banyak investasi,” kata Lino dalam acara Forbess Indonesia Leadership
Forum on State Owned Enterprises 2014 di Jakarta, Selasa (19/8).
Sebelumnya, Menko Perekonomian Chairul Tanjung (CT) mengatakan, pemerintah
akan mewajibkan pelaku usaha sektor pelabuhan untuk menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi. Sebab, penggunaan dolar dalam transaksi di dalam negeri melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Karena itu, dia meminta Kementerian Perdagangan dan PT Pelindo II (Persero) untuk memberikan pemahaman kepada pelaku usaha agar secepatnya menggunakan rupiah.
Lino mengatakan, pihaknya telah membuat surat ke Menteri Keuangan terkait kewajiban bertransaksi dengan rupiah di pelabuhan. Namun, hingga kini belum ada respon terkait surat tersebut. “Jadi, bisnis pelabuhan bukan susah menggunakan transaksi rupiah. Saya sudah kasih alasan kenapa, tapi ini tergantung mereka (Kemenkeu) yang memutuskan,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Samuel Sekuiritas Lana Soelistianingsih mengatakan, kewajiban bertransaksi rupiah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang. “Secara undang-undang sudah ditetapkan menggunakan rupiah. Jadi, memang kita harus berkaca pada undang-undang itu,” kata Lana.
Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak hanya menetapkan kewajiban tersebut di pelabuhan namun terhadap semua tempat transaksi yang masih menggunakan dolar.
Masa Tinggal
Lino optimistis masa tinggal (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok akan mencapai empat hari hingga akhir tahun. Dia mengatakan, jika barang tinggal terlalu lama di pelabuhan akan mengakibatkan logistic cost tinggi. “Dwelling time sudah kurang dari enam hari. Itu mau dibuat jadi empat hari hingga akhir tahun, itu bagus,” katanya.
Sementara itu Lana berpendapat dwelling time harus mengacu pada standar internasional.
“Dwelling time bisa mengacu pada standar internasional, seharusnya dalam satu hari juga bisa selesai. Sehingga pelaku usaha punya perhitungan kapan barang sampai di pabrik. Tetapi, mungkin ada kendala di infrastuktur,” ujar Lana. (c02)
Leave a reply