Pemerintah Diharap Transparan
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah diminta terbuka kepada publik mengenai untung dan
rugi proyek tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta. Selain itu, masyarakat yang akan terdampak harus diajak bicara sejak awal agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Apalagi, dari kajian sejumlah ahli, persoalan lingkungan Jakarta, terutama terkait banjir,
ternyata lebih bersifat sosial.
“Hingga kini, banyak ahli di Indonesia belum mendapat dokumen kajian rinci tentang perencanaan tanggul laut raksasa,” kata Abdul Muhari, peneliti kelautan dan bencana dari International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS), di Jakarta, Rabu (15/ 10).
Kajian itu diperlukan ahli untuk turut mengawal proyek. “Saya kira banyak ahli tidak mendapat informasi lengkap mengenai desain tanggul raksasa di Teluk Jakarta sehingga dikhawatirkan asumsi dalam model bisa jadi tidak merepresentasikan desain sebenarnya,” katanya.
Peneliti pada Badan Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko berharap, jika ada kajian rinci, sebaliknya disosialisasikan
kepada publik. Tujuannya, pihak yang kompeten bisa mengawal atau mengkritisinya
Widjo heran, proyek yang rencananya dimulai pada 2020 justru dipercepat tahun ini. “Tim Belanda dan Indonesia sudah mengkaji proyek ini sejak lama dengan biaya jutaan euro. Mestinya dokumen detail nya ada dan harus dibuka kepada publik,” tuturnya.
Kajian IRIDeS selama setahun terakhir, menujukkan, banjir Jakarta lebih dominan karena
faktor manusia dibandingkan alam. “Penanganan aspek sosial seharusnya lebih dikedepankan sebelum investasi sangat besar sektor fisik,” ungkapnya.
Jika diintegrasikan dengan keseluruhan program dari hulu, seperti Pembaharuan waduk baru di Ciawi, revitalisasi waduk, sungai dan kanal, serta penataan ulang permukiman di sepanjang aliran sungai, kata Muhari, pembangunan tanggul raksasa adalah komplemen dari solusi terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Kemarin, para nelayan dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia DKI Jakarta menolak pembangunan itu. Mereka khawatir kehilangan mata pencarian. “Setiap hari, 600 kapal dari 5.600 kapal nelayan di Jakarta hilir mudik di Teluk Jakarta,” ucap Ketua H SI Jakarta Yan Winata Sasmita. (AIK/MKN)
Leave a reply
Leave a reply