Paceklik Empat Tahun
BANYUWANGI, KOMPAS — Nelayan di seluruh kawasan perikanan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (6/11), menggelar musyawarah besar setelah dilanda paceklik selama empat tahun lebih. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat membenahi ekosistem pantai dan memperbaiki manajemen pengelolaan ikan agar ada kelanjutan hasil tangkap.
Musyawarah besar itu baru kali pertama diselenggarakan sepanjang sejarah penangkapan ikan di Selat Bali. Selama ini nelayan di Banyuwangi sangat bergantung pada Selat Bali sebagai sumber pencarian ikan.
Ketua Himpunan Serikat Nelayan Indonesia di Banyuwangi, Hasan Basri, menyebutkan, kondisi Selat Bali sudah memprihatinkan. Akibatnya, nelayan, pengusaha pengolahan ikan, pemerintah, peneliti, hingga pemuka agama perlu duduk bersama mencari solusi mengakhiri paceklik ikan.
Dalam musyawarah tersebut terungkap, nelayan semakin kesulitan mendapatkan ikan. Jika dulu sebelum tahun 2010 nelayan bisa membawa pulang 15-20 ton ikan lemuru sekali melaut dengan perahu jenis slereg, kini mendapatkan 5 ton sudah termasuk beruntung.
Nelayan lebih sering pulang tanpa hasil. Lemuru adalah ikan yang paling banyak didapati di Selat Bali. Akibat menghilangnya lemuru, ribuan nelayan terpaksa beralih profesi, menganggur, bahkan rela menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk menutupi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya.
Industri pengalengan ikan dan tepung ikan yang bergantung pada bahan baku lemuru pun ikut terimbas. Kini perusahaan-perusahaan terpaksa mendatangkan ikan lemuru dari Tiongkok, India, dan Maroko agar pabriknya tetap berproduksi.
Kapal bertambah
Dalam musyawarah tersebut juga terungkap, paceklik sebagian terjadi karena faktor manusia. Jumlah kapal pencari ikan lemuru di Bali terus bertambah dari tahun ke tahun.
Terakhir tercatat ada 260 kapal yang diizinkan mencari lemuru di Selat Bali.
Darmawan Sutjipto, peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang, menemukan, bobot ikan yang tertangkap jaring kian mengecil. Ketika anak ikan ikut tertangkap, otomatis tak ada perkembangbiakan lebih lanjut.
Hal itu diperparah dengan adanya pencemaran lingkungan, hasil pembuangan limbah pabrik dan rumah tangga. Hingga tahun 2010 masih banyak pabrik pengolahan ikan yang membuang limbah langsung ke muara sungai. Sebagian nelayan juga masih menangkap ikan dengan bom ikan sehingga kian memperparah rusaknya lingkungan.
Saat ini, nelayan, pengusaha, hingga pemerintah sepakat untuk memperbaiki ekosistem laut. Mereka juga sepakat untuk memperbaiki manajemen penangkapan ikan.
”Itu dua poin utama yang kami sepakati. Dua poin itu akan dijabarkan lebih detail, misalnya harus ada tempat untuk memijah ikan, pembatasan waktu penangkapan ikan agar ikan sempat berkembang, pembuatan terumbu karang, hingga pembatasan armada kapal,” kata Zainullah Baijuri, nelayan yang juga aktif di lembaga pengelolaan sumber daya komunitas Lestari Bahari di Muncar, Banyuwangi.
Baijuri mengatakan, nelayan, pengusaha, dan pemerintah akan saling mengingatkan. Namun, jika pelanggaran terus dilakukan, proses hukum diberlakukan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi Pudjo Hartanto mengatakan, kesepakatan yang diperoleh diharapkan menjadi titik balik kebangkitan masyarakat
Muncar. Pemerintah kabupaten sepenuhnya mendukung gerakan perbaikan tersebut.
”Perbaikan lingkungan beberapa tahun ini telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah,” kata Pudjo.
Leave a reply