Otoritas Pelabuhan Harus Tuntaskan Praktik Rente

JAKARTA—Kementerian Perhubungan menginstruksikan seluruh kepala otoritas pelabuhan di empat pelabuhan utama Indonesia menuntaskan praktik rente di pelabuhan yang menyangkut pungutan uang jaminan peti kemas impor dan dokumen EIR.

Praktik pembayaran uang jaminan peti kemas dan penerapan dokumen EIR (equipment interchange receipt) selama ini disinyalir menjadi sumber maraknya praktik rente di pelabuhan.

Kemenhub meminta agar semua praktik tersebut ditertibkan untuk menekan biaya logistik nasional. Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Bobby R.Mamahit mengatakan instansinya sudah memerintahkan seluruh kepala OP di empat pelabuhan utama mengenai
ma salah tersebut yakni OP di Tanjung Priok, Belawan, Makassar dan Tanjung Perak Surabaya.

Menurutnya, masing-masing kepala OP di pelabuhan utama itu bertanggung jawab penuh menyelesaikan masalah praktik rente karena isu ini menyangkut masalah di lapangan. “Saya sudah perintahkan kepada semua OP di pelabuhan utama,” ujarnya, Selasa (9/9).

Dia juga mengatakan Kemenhub sudah menerima laporan dari Kepala OP Tanjung Priok bahwa persoalan uang jaminan peti kemas impor dan dokumen EIR di pelabuhan itu masih terus dibahas dan diinvestigasi.

“Sesuai dengan laporan OP Tanjung Priok bahwa [penyelesaian praktik rente] sedang dirapatkan untuk menengahi permasalahan antara INSA [Indonesian National Shipowners’ Association] dan GINSI [Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia] soal itu,” katanya.

GINSI mendesak keterlibatan surveyor independen dalam penerbitan dokumen EIR di empat pelabuhan utama Indonesia yang melayani kegiatan pengapalan ekspor impor sebagai bentuk transparansi proses survei peti kemas impor secara nasional.

Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) GINSI Bidang Kepelabuhanan dan Kepabeanan Subandi mengatakan GINSI juga mendesak pemerintah melakukan evaluasi atas pengenaan uang jaminan peti kemas impor di empat pelabuhan utama karena berpotensi memunculkan praktik rente di jasa kepelabuhanan.

Dia mengatakan keterlibatan surveyor independen dalam penerbitan dokumen EIR dan desakan evaluasi uang jaminan peti kemas impor di pelabuhan tersebut merupakan hasil
kajian GINSI untuk mengurangi beban logistik di dalam negeri. “Kajian dan penelitian sudah kami lakukan sebulan terakhir ini dengan melibatkan para importir anggota GINSI di empat pelabuhan utama,” ujarnya.

TANPA SURVEYOR
Importir di empat pelabuhan utama itu, katanya, mengeluhkan istilah uang jaminan peti kemas impor dan tidak transparannya proses penerbitan dokumen EIR di terminal peti kemas karena tidak melibatkan surveyor independen.

“Hasil kajian logistik yang sudah dilakukan GINSI ini akan kami sampaikan ke Kemenhub dan Ke menterian Perdagangan serta instansi terkait di empat pelabuhan utama itu. Kami mendesak ada lang kah konkret sebagai upaya menghapus praktik rente di pelabuhan,” tuturnya.

Menurutnya, desakan ini menjadi fokus utama pemberantasan praktik rente di sektor jasa angkutan laut yakni di Pelabuhan Tanjung Priok mengingat hampir 70% pengapalan
ekspor impor dilakukan melalui pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

Uang jaminan peti kemas dibayarkan kepada perusahaan pelayaran global saat menebus delivery order (DO) untuk kegiatan impor melalui agen pelayaran di dalam negeri guna mengantisipasi jika terjadi kerusakan atau reparasi peti kemas.
“Uang jaminan peti kemas itu mencapai US$100—US$150 per peti kemas, bahkan ada pelayaran asing yang mengenakan hingga US$300,” tuturnya.

Adapun, dokumen EIR diminta sebagai bukti yang sah saat serah terima peti kemas dari kapal ke terminal peti kemas kemudian kepada pihak angkutan darat (truk) dan seterusnya hingga ke depo peti kemas atau gudang pemilik barang di luar pelabuhan.

Dia mengatakan biaya logistik yang besar merupakan penyebab utama tingginya harga barang yang berdampak langsung terhadap penurunan daya beli konsumen sekaligus menghambat laju perekonomian nasional. “Biaya reparasi peti kemas impor termasuk untuk biaya cleaning dan washing di depo empty juga membebani logistik nasional,” ucapnya.

Subandi yang juga menjabat Sekjen Dewan Pelabuhan (Port Council) Tanjung Priok itu mengatakan pengembalian uang jaminan peti kemas impor oleh agen pelayaran asing di Indonesia membutuhkan waktu dua minggu hingga empat bulan jika tidak terjadi kerusakan peti kemas.

“Namun hampir semua peti kemas eks impor dikenakan biaya reparasi. Ini kan aneh. Lagi pula kalau [uang jaminan] dikembalikan itu terlalu lama dan di sinilah praktik rente
terjadi,” tuturnya.

Oleh karena itu, imbuhnya, GINSI mengusulkan supaya proses pengembalian uang jaminan peti kemas impor bisa dipercepat paling lambat tujuh hari kerja serta besaran
uang jaminan sama di semua perusahaan pelayaran sesuai dengan jenis peti kemas dan ukurannya. (k1)

Leave a reply