Nelayan Takut Sumber Pendapatan Hilang
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah nelayan di pesisir utara Jakarta khawatir menganggur dengan pembangunan tanggul laut raksasa. Mereka menolak pembangunan karena dinilai bakal menutup akses dan area pencarian ikan di perairan Teluk Jakarta
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) DKI Jakarta Yan Winata Sasmita, Kamis (23/10), menyatakan, sekitar 600 kapal dari total 5.600 kapal nelayan yang ada di DKI Jakarta hilir mudik di Teluk Jakarta setiap hari. Aktivitas itu dipastikan terganggu jika perairan diuruk untuk pembangunan pulau-pulau reklamasi.
“Pemerintah seperti sengaja memiskinkan nelayan. Dua bulan ini kami pontang-panting mengantre bahan bakar karena kuotanya dikurangi 20 persen. Kini, kami harus berhadapan dengan rencana pembangunan tanggul laut. Proyek sudah dicanangkan, padahal kami belum pernah dapat sosialisasi,” kata Yan.
Seperti sentra nelayan lain di Jakarta, ratusan nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, harus mengantre untuk mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Tak jarang mereka menganggur karena stok BBM di stasiun penggisian bahan bakar nelayan(SPBN) habis. Pengelola SPBN terpaksa mengurangi jatah nelayan sesuai stok yang ada.
“Pcmerintah seharusnya memikirkan dulu nasib kami (rakyat kecil) sebelum pengusaha-pengusaha besar. Di mana keberpihakan pemerintah jika ·kami akhirnya kehilangan sumber penghidupan. Ada lebih dar12.000 nelayan di pesisir Jakarta dan puluhan ribu keluarganya yang menggantungkan hidup dari laut,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian mencanangkan pembangunan tanggul laut raksasa (giant sea wall) pada 9 Oktober 2014. Proyek
itu menuai pro kontra Namun, pemerintah memberi sinyal evaluasi, terutama pada tahap kedua dan ketiga bagi proyek yang diperkirakan butuh dana hingga Rp 400 triliun.
Wakil Gubemur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Ancol, Jakarta Utara, pekan lalu, mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta ingin agar pembangunan tahap kedua dan ketiga ditinjau lagi. Khusus untuk tahap pertama, yakni peninggian dan penguatan tanggul di pesisir utara Jakarta, pemerintah daerah setuju karena penting untuk mengatasi genangan, terutama di Jakarta Utara
Sebelumnya, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Sarwo Handayani menyatakan, Pemerintah DKI Jakarta membuka ruang
untuk mendiskusikan dampak positif dan negatif pembangunan tanggul laut.
Tanggl laut raksasa dinilai menjadi salah satu solusi teknik mcngurangi dampak buruk akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut. Penurunan
tanah rata-rata 10 sentimeter per tahun, sementara muka air laut naik 5-6 milimeter per tahun. Akan tetapi, keberadaannya berpotensi mengubah ekosistem di Teluk Jakarta dari air asin menjadi air tawar. Selain itu, ada potensi sedimentasi di Teluk Jakarta (Kompas)
Leave a reply