Nelayan Dukung Pembatasan Solar Bersubsidi
JAKARTA – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KTNI) mendukung kebijakan pemerintah yang membatasi pemakaian solar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan solar packed diesel nelayan (SPDN). Selama ini memang ada indikasi solar bersubsidi justru digunakan oleh pemilik kapan di atas 30 GT (gross tonnage).
Ketua Dewan Pembina KTNI Riza Damanik mengatakan, pihaknya mendukung kebijakan pembatasan solar bersubsidi karena itu untuk efisiensi dalam pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) jenis tersebut sehingga tepat sasaran. Selama ini, solar bersubsidi di SPBN dan SPDN secara kuantitas tidak hanya digunakan oleh mereka yang berhak melainkan oleh pemilik kapal di atas 30 GT.
“Demi efisiensi, kami dukung penuh. Hanya saja, pemerintah perlu sungguh-sungguh memastikan bahwa yang memiliki kapal di atas 30 GT tidak lagi mendapatkan BBM bersubsidi,” ujar Riza kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (5/8).
Terhitung 4 Agustus 2014, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sepakat membatasi pemakaian solar bersubsidi untuk SPBN dan SPDN. Alokasi solar bersubsidi lebih dikhususkan untuk kapal nelayan di bawah 30 GT. Riza meminta pemerintah memastikan bahwa nelayan-nelayan kecil yang memiliki kapal di bawah 30 GT tetap mendapatkan solar subsidi dan tidak boleh dikurangi terlebih dihapuskan. Itu adalah kewajiban negara sebagai konsekuensi menjaga stabilitas nasional.
Dalam hal ini memastikan angka kemiskinan dan angka kelaparan tidak bertambah. Selain itu ketergantungan bangsa terhadap komoditas-komoditas pangan dari luar negeri tidak semakin besar. Ia mengakui, pembatasan tersebut akan memberi dampak jangka pendek, seperti mengganggu nelayan dalam menangkap ikan.
Namun sebenarnya nelayan tidak perlu khawatir sebab kebijakan itu justru menolong mereka. Karena itu, agar nelayan kecil tidak salah paham, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara intensif terkait kebijakan tersebut. Selain itu perlu diinformasikan ke mana nelayan bisa mengakses solar subsidi itu.
Riza mengatakan, selama ini akses nelayan kecil atas solar bersubsidi tidaklah mudah. Ada indikasi solar subsidi justru diselundupkan ke luar negeri dan wilayah-wilayah perbatasan. Selain itu juga dijual kepada perusahaan atau industri di kawasan pesisir. Untuk mengantisipasi itu, pemerintah perlu bermitra dengan organisasi-organisasi nelayan di seluruh Indonesia.
“Terjadi perbedaan penyaluran solar subsidi antara daerah yang bekerja sama dengan yang tidak. Di daerah yang bekerja sama dengan Pertamina, penyaluran solarnya jauh lebih efektif dan jauh lebih pasti distribusinya daripada yang diserahkan ke swasta,” kata dia.
Terkait pemberlakuan jam kerja dalam menjual solar bersubsidi, Riza menilai hal itu juga akan menganggu aktivitas nelayan. Sebab, nelayan ketika melaut tergantung musim dan arah angin. Namun itu bisa diantisipasi dengan memperkuat kerja sama antara pemerintah dan organisasi nelayan di daerah. Supaya sejak awal para nelayan itu bisa mengakses dan mempersiapkan dengan lebih baik. “Selama ini, jangankan mengakses BBM di kampung nelayan yang harganya cukup mahal itu, untuk membeli BBM di luar itu para nelayan ditangkap. Sebab, mereka dituduh menimbun BBM, padahal di daerahnya tidak ada titik
penyaluran,” kata dia.
Menurut Riza, hal itu tidak perlu terjadi bila pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar dan menyiapkan infrastruktur. Kartu nelayan sebenarnya bisa dioptimalkan. Di Malaysia misalnya, kartu nelayan digunakan sebagai alat untuk memastikan distribusi BBM itu berjalan dengan tepat ke orang yang benar dan kuotanya tidak melebihi.
Sedangkan mengenai rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menganti BBM dengan bahan bakar gas (BBG) bagi nelayan, Riza sependapat dengan kebijakan itu. Hanya saja, rencana yang sudah digagas 6-7 tahun lalu itu masih sebatas tahap uji coba. “Untuk menstransformasi kapal-kapal dari BBM Ke BBG butuh alat. Selain itu apakah anggarannya ada, lebih baik jangan mengumbar janji surga buat
nelayan,” kata Riza. (c07).
Leave a reply