Konsep Versi Sislognas Digugat
JAKARTA-Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II Richard Joost Lino bakal menggugat aturan alur pelayaran kapal ekspor impor versi cetak biru sislognas ke presiden terpilih karena dianggap bisa menyuburkan praktik rente di pelabuhan.
Dalam cetak biru sistem logistic nasional (sislognas) saat ini, arus ekspor dan impor barang menggunakan kapal laut harus melalui dua pelabuhan sebagai gerbang utama yakni di Kuala Tanjung, Sumatra Utara, dan Bitung, Sulawesi Utara.
Dua pelabuhan tersebut menjadi hub ekonomi dan hub logistik dalam kerja sarna segitiga
antara Indonesia dan negara-negara tetangga seperti IMT (Indonesia, Malaysia, dan
Thailand), IMS (Indonesia, Malaysia, dan Singapura), BIMP (Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Filipina). dan Aida (Australia dan Indonesia).
“Kapal yang membawa barang impor harus berhenti di pelabuhan tersebut. Begitu juga untuk barang ekspor harus diantar ke pelabuhan tersebut kemudian diteruskan ke luar negeri,” ujarnya, Selasa (19/8).
Di satu sisi, menurut Lino, Peraturan Presiden No 26/2012 tentang Cetak Biru Sislognas
memberikan banyak manfaat bagi industri pelayaran dan logistic dalam negeri. Kebijakan itu di satu sisi bisa lebih berperan dalam mendorong pendistribusian barang dari dan ke pelabuhan yang menjadi gerbang utama ekspor impor.
Di sisi lain, lanjutnya, kebijakan tersebut juga berpotensi menyuburkan praktik-praktik rente alias ekonomi biaya tinggi karena barang impor harus mengalami dua kali penanganan yakni di pelabuhan utama kemudian ke pelabuhan akhir sebelurn tiba ke tangan pemilik.
“Hasil akhir, barang impor akan semakin mahal. Begitu juga barang ekspor kita pasti akan rnakin rnahal karena harus estafet,” tutumya.
Oleh karena itulah dia berketetapan hati untuk menggugat sistern tersebut dengan cara mengadukannya ke presiden terpilih yang bakal dilantik. Dia menginginkan agar presiden baru mengubah tersebut karena kontraproduktif dan menekan daya saing Indonesia.
BERDAMPAK NEGATIF
Chariman Supply Chain Indonesia Setijadi mengatakan berdasarkan basil kajian lembaganya, konsep alur pelayaran versi sislognas memiliki beberapa kelemahan mendasar dibandingkan dengan konsep pendulum nusantara atau sering diistilahkan sebagai tol laut.
“Kedua konsep tersebut perlu dikaji dari /berbagai aspek secara kompreliensif, terutama dari aspek kelayakan investasi, teknis, operasional, ataupun dampaknya terhadap efisiensi logistik nasional,” ujarnya.
Menurutnya, dalam konsep logistik maritim, pengembangan sistem logistik nasional berlandaskan pada prinsip wilayah depan dan wilayah dalam. Menurut konsep ini, pengembangan konektivitas lokal dan konektivitas global mempertimbangkan kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional.
Penerapan konsep logistic maritim, tuturnya, dilakukan dengan pengembangan dua hub
internasional. yaitu di Pelabuhan Kuala Tanjung dan Pelabuhan Bitung. Pelabuhan hub international tersebut didorong menjadi logistics port.
Selain itu, dilakukan penerapan konsep short sea shipping (SSS) melalui pengembangan pelabuhan-pelabuhan di wilayah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua, serta pengembangan logistics support di wilayah laut dalam.
Adapun, konsep tol laut atau pendulum nusantara merupakan sebuah sistem rute pelayaran sepanjang jalur barat-timur Indonesia yang beroperasi seperti pendulum. Rute tersebut akan melewati enam pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Belawan, Batam, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Sorong.
“Melalui manajemen yang terintegrasi, kapal-kapal besar setiap harinya akan beroperasi dienam pelabuhan besar tersebut di sepanjang Indonesia dalam waktu yang telah dijadwalkan,” tambahnya.
Hasil kajian Supply Chain Indonesia (SCI) menunjukkan beberapa kelemahan penggunaan konsep logistik maritim. Dengan membuka pintu ekspor dan impor hanya di dua pelabuhan hub intemasional, maka terjadi proses handling yang lebih banyak dan arus barang menjadi lebih lama. Hal ini berpotensi menaikkan biaya transportasi dan logistik nasional.
Hasil kajian SCI juga menunjukkan beberapa keunggulan konsep tol laut atau pendulum.
Konsep ini, menurutnya, dapat mengatasi persoalan utarna transportasi laut berkaitan dengan ketidakseimbangan volume pengangkutan barang antara kawasan barat dan timur Indonesia.
Konsep ini, imbuhnya, menjadi solusi yang efektif dalam mencegah berlayamya kapal berkapasitas kosong dari satu tempat ke tempat lain dan diharapkan dapat mewujudkan sistern distribusi barang yang efisien serta terintegrasi.
“Dengan menggunakan kapal berkapasitas minimum 3.000 TEUs, maka pengangkutan barang akan menjadi efisien, sehingga dapat menurunkan biaya logistik,” katanya. M.G. Noviarizal Fernandez redaksi@bisnis.co.id (Bisnis Indonesia)
Leave a reply
Leave a reply