Kerugian Akibat Pencurian Ikan Rp 255 Triliun
JAKARTA – Kerugian akibat maraknya praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU Fishing) di Tanah Air mencapai Rp 255 triliun setiap tahunnya. Praktik tersebut masih saja terjadi karena lemahnya pengawasan oleh pemerintah.
Karena itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) merekomendasikan pemberantasan praktik tersebut pada pemerintahan baru, ini tertuang dalam peta jalan (roadmap) sektor kelautan dan perikanan (KP) 2015-2019.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang KP Yugi Prayanto mengatakan kerugian itu bisa lebih besar karena sulitnya menangkap pelaku IUU Fishing. Itu akibat pengawasan yang lemah
sebagai dampak kurangnya sinergi antarlembaga pengawas kejahatan laut. “Karena itu,
pemerintahan baru perlu membentuk badan pengawas kelautan yang lebih komprehensif,
sehingga pengawasan lebih efektif dan tak berjalan sendiri-sendiri,” kata dia di Jakarta,
baru-baru ini.
Data dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menyebutkan, selama periode 2005-2013, setidaknya 23.937 kapal yang diperiksa karena diduga melakukan praktik IUU Fishing, terutama illegal fishing.
Adapun kapal yang diproses secara hukum mencapai 1.345. Sepanjang 2013, sebanyak
3.781 kapal ikan diduga melakukan illegal fishing. Dari jumlah itu, 68 kapal diproses secara hukum oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) perikanan.
Yugi mengungkapkan, badan pengawasan kelautan yang ideal bisa dalam wujud Badan
Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakorkamla) yang terdiri atas angkatan
laut, polisi laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Densus 88, dan ditjen perhubungan laut. “Mereka yang bisa diharapkan menjaga lebih intens karena semua kesatuan disatukan. Jadi tidak tumpang tindih atau saling menyalahkan lagi,” kata Yugi.
Yugi mengatakan, guna meningkatan pengawasan perairan laut Indonesia, pemerintahan
baru juga perlu meningkatkan anggaran KKP, setidaknya sama dengan Kementerian Pertanian (Kementan). Anggaran itu di antaranya untuk mengatasi minimnya ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatkan kesejahteraan para petugas pengawas di lapangan.
Kepala Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia Asrul mengakui kewalahan mengawasi
perairan Indonesia. Salah satu sebabnya adalah keterbatasan jumlah petugas dan kapal pengawasan. Saat ini, jumlah unit kapal pengawas milik KKP hanya 28 unit. Tahun depan, akan ada tambahan empat kapal baru, sehingga total kapal pengawas yang dimiliki KKP berjumlah 32 unit armada. Jumlah ini masih belum mampu menjangkau keseluruhan wilayah perairan Indonesia yang sangat terbuka. “Indonesia minimal harus memiliki 90 kapal pengawas,” ungkap Asrul.
Selain infrastruktur, kesulitan yang dihadapi pemerintah adalah terbatasnya sumber daya
manusia (SDM) guna mengawasi praktik pencurian ikan. Sejauh ini, KKP baru memiliki
389 pengawas yang berasal dari Sekolah Umum Perikanan Menengah dan Sekolah Tinggi Perikanan. Idealnya, KKP harus mempekerjakan 1.500 orang untuk mengawasi wilayah laut dari Sabang dari Merauke.
“Kami tidak mungkin mengandalkan pos pengawasan masyarakat karena mereka hanya melaporkan dan tidak bisa menindak. Butuh pendidikan khusus untuk pengawasan, mereka dilatih kemudian dapat sertifikasi baru boleh mengawasi,” kata Asrul.
Untuk mengantisipasi hal ini, KKP akhirnya mempergunakan alat sistem monitoring semacam GPS untuk mengontrol mobilitas dan kegiatan kapal di laut Indonesia. Nantinya, setiap kapal berizin yang melakukan aktivitas laut harus memiliki GPS. “Sistem monitoring itu jalan keluar paling logis saat ini.
Karena itu, kami mewajibkan setiap kapal berizin memasang alat itu agar kami dapat memonitornya. Hanya saja, banyak kapal yang tidak menyalakan,” kata Asrul.
Sedangkan Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Yon Vitner menerangkan, wilayah paling rawan atas terjadinya praktik IUU Fishing
termasuk pencurian ikan adalah timur Indonesia dan daerah perbatasan, seperti Laut
Arafura atau Ambon. Selain itu, Laut Natuna di Sulawesi dan Selat Makassar juga menjadi sasaran empuk penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan Thailand. Sedangkan di barat Indonesia, konsentrasi penangkapan ikan secara ilegal dilakukan di Selat Malaka dan Laut China Selatan, hingga Perairan Pulau Anambas.
“Negara-negara yang banyak menangkap ikan secara ilegal adalah Thailand, Filipina di utara, Vietnam, dan Malaysia,” kata dia.
Selain merekomendasikan pemberantasan praktik IUU Fishing dalam roadmap sektor
KP 2015-2015, Kadin juga merekomendasikan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 7% setiap tahunnya, konservasi dan pengamanan wilayah pesisir, pengembangan sumber daya manusia (SDM), teknologi, wawasan, dan budaya bahari, serta pembenahan tata kelola sektor KP.
Yugi mengatakan, permasalah ekonomi di sektor KP yang harus dibenahi adalah belum
optimalnya produksi perikanan budidaya dan tangkap di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan laut lepas, belum optimalnya produksi ikan hias, belum optimalnya distribusi ikan hasil perikanan antarwilayah di Indonesia, belum terkelolanya potensi pulau-pulau kecil sebagai kekuatan ekonomi, belum optimalnya industri pengolahan perikanan, dan terbatasnya ketersediaan pasokan BBM untuk nelayan dan pembudidaya ikan.
Terkait tata kelola sektor KP, Kadin mengusulkan pembentukan Kemenko Kelautan guna
mempercepat implementasi pembangunan sektor KP. Kementerian dan lembaga (K/L) yang berada di bawah Kemenko Kelautan adalah Kementerian Maritim dan Logistik Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementeian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Pariwisata Bahari dan Ekonomi Kreatif, serta Sea and Coast Guard atau Bakorkamla.
“Persoalan maritim dan kelautan itu rumit dan lebih baik ada satu kementerian yang jadi koordinator. Terlebih program pemerintahan baru menjadi poros maritim dunia, Kemenko Kelautan merupakan solusi terbaik,” ujar dia. (leo) Investor Daily
Leave a reply
Leave a reply