Kemenhub Masih Bimbang

JAKARTA—Kementerian Perhubungan masih bimbang dalam memutuskan penaikan tarif layanan peti kemas atau container handling charge di tiga terminal di Pelabuhan Tanjung Priok karena rapor kinerja masing-masing terminal berbeda.

Ketiga terminal yang dimaksud adalah Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja.

Bobby R. Mamahit, Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, mengatakan hingga saat ini pihaknya belum memutuskan penaikan tarif penaikan CHC karena dari hasil laporan kinerja menyebutkan rapor masing-masing terminal berbeda-beda, sedangkan besaran usulan penaikan tarif itu sama.

Pihaknya akan lebih dulu mengkaji apakah besaran penaikan CHC itu sama antar terminal, atau berbeda bagi masing-masing terminal. “Masih belum [diputuskan] apakah akan dinaikkan sama [semua terminal] atau [berdasarkan] individual port [bervariasi],” katanya, Selasa (26/8).

Namun, dia memastikan Kemenhub akan memutuskan penaikan CHC secepatnya sebelum pergantian rezim pemerintahan. Alasannya, Kemenhub tidak ingin meninggalkan pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru terutama terkait dengan keputusan penaikan CHC yang sudah berlarut-larut selama empat bulan ini.

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II mengusulkan penaikan tarif CHC di tiga terminal di Pelabuhan Tanjung Priok kepada Kemenhub sejak April lalu. Dalam usulan itu, Pelindo II meminta adanya penaikan tarif  US$10 untuk boks kontainer ukuran 20 kaki menjadi US$93 per boks dari saat ini US$ 83 per boks. CHC merupakan biaya bongkar muat peti kemas dari kapal kelapangan penumpukan terminal yang dibayarkan oleh perusahaan pelayaran ke terminal peti kemas.

Dengan usulan penaikan CHC, secara otomatis hal itu akan ikut mengerek tarif THC
(terminal handling charge) atau tarif yang dibayar oleh pemilik barang kepada perusahaan pelayaran. Besaran THC akan menjadi US$110 per boks dengan perincian, tarif CHC sebesarUS$93, PPN US$9,3, ditambah surcharge US$7,7.

PANDANGAN NAMARIN

Pengamat industri maritime dari The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai Kemenhub tidak bisa menentukan penaikan tarif berdasarkan rapor masing-masing terminal.

Menurutnya, kinerja di setiap terminal sangat bergantung pada fasilitas kepelabuhanan, salah satunya luas lapangan penumpukan. “Pukul rata saja karena masing-masing terminal punya kapasitas berbeda,” ujarnya.

Pada sisi lain, berlarutnya penentuan penaikan besaran CHC berpotensi menimbulkan iklim pelabuhan yang tidak sehat. Para investor, imbuhnya, akan merasa tidak adanya kepastian berbisnis di Indonesia karena pemerintah terlalu ikut campur dan lambat mengambil keputusan.

Selain itu, penaikan CHC yang molor itu juga akan membuat para investor tersebut mencari jalan lain untuk meraup pendapatan dengan tujuan menutup nilai investasi yang telah dikeluarkan selama ini. “Artinya, suasana bisnis pelabuhan akan selalu panas,” tuturnya.(Bisnis Indonesia)

Leave a reply