Kemaritiman Berawal dari Budaya Agraris
JAKARTA, KOMPAS — Kemaritiman di wilayah Indonesia timur pada abad ke-15 Masehi, terutama oleh Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, memegang peran penting dalam perniagaan rempah global. Meskipun semula berawal dari budaya agraris, kerajaan ini mengambil peran penting membangun kemaritiman.
”Tradisi kemaritiman Gowa itu dari tradisi kerajaan agraris dan tidak secara tiba-tiba menjadi kerajaan maritim,” kata Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Mukhlis PaEni, Selasa (9/12), dalam bedah buku Laut dan Kebudayaan, di Museum Nasional, Jakarta.
Buku Laut dan Kebudayaan merupakan kumpulan esai dari beberapa penulis, yaitu Mukhlis PaEni, Achmad Fedyani Saifuddin, Abdul Muis, Martono Yuwono, dan Arif Satria. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri menulis pengantar dalam buku ini.
Mukhlis menguraikan, keruntuhan Malaka pada tahun 1511 menghidupkan kota-kota dagang di Nusantara, salah satunya Gowa. Pada awal abad ke-16 itulah, Raja Ke-9 Gowa Karaeng Tumaparisi Kallona memindahkan ibu kota dari pedalaman yang bercorak agraris ke pesisir pantai di muara Sungai Jene’beran bernama Somba Opu.
Gowa memainkan peran penting dalam perniagaan global. Kantor-kantor dagang asing berdiri di Somba Opu dari sejumlah negara, seperti Denmark, Inggris, Portugis, Spanyol, Belanda, dan Gujarat.
Dari Raja Ke-9 Gowa hingga Raja Ke-14 Gowa Alaudin, perniagaan berjalan damai. Gowa menjadi salah satu kerajaan maritim terbesar masa itu dengan teknologi perkapalan yang bisa menjangkau lintas benua.
Pada masa Raja Alaudin, terjadi benturan kepentingan dengan kantor dagang VOC Hindia Belanda. Benturan jalur perdagangan di laut dan komoditas perdagangan tersebut memicu perang antara armada VOC dan armada Gowa. Gowa dikalahkan VOC hingga pada 1667 terikat melalui Perjanjian Bungaya.
”Sejak itu, kemaritiman tidak berkembang,” kata Mukhlis.
Sesuai dengan perjanjian Bungaya, penduduk Gowa hanya diperbolehkan berlayar ke daerah Bali, pantai Jawa, Jambi, Palembang, Johor, dan Borneo. Boleh juga menjelajah laut di sekitar Bima, Solor, dan Timor. Namun, penduduk Gowa dilarang berlayar memasuki wilayah kelautan di utara Kalimantan sampai Mangindanao.
Potensi kelautan
Rokhmin Dahuri menuliskan, saat ini total potensi kelautan dengan 11 sektor mencapai tujuh kali lipat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 sebesar Rp 1.600 triliun. Potensi ini mampu menyerap tenaga kerja 40 juta penduduk atau sekitar sepertiga angkatan kerja di Indonesia.
”Perhatian terhadap masyarakat kelautan dan perikanan pada umumnya baru dimulai sekitar satu dekade terakhir,” kata Edi Sedyawati, ketika menyampaikan paparan Rokhmin Dahuri di dalam bukuLaut dan Kebudayaan tersebut.
Kompleksitas kehidupan masyarakat kelautan dan perikanan masih dianggap sebagai variasi dari kajian pedesaan. (Kompas)
Leave a reply
Leave a reply