Jokowi Fokus Bangun Negara Maritim
JAKARTA—Presiden Joko Widodo mengajak semua pihak bekerja keras mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat.
Presiden menekankan hal itu dalam pidatonya pada awal masa jabatan setelah membacakan sumpah sebagai presiden RI di Gedung DPR/MPR, Senin (20/10).
“Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk,” katanya.
Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi menyatakan justru dari laut Indonesia bisa kembali jaya seperti semboyan nenek moyang Jalesveva Jayamahe yang berarti di laut justru kita jaya.
Keinginan Jokowi kembali membangun negara maritim mengacu luasnya lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia.
Anggota DPR dari Fraksi PKS Al muzzammil Yusuf mengapresiasi pidato pertama Jokowi yang menekankan pemberdayaan potensi maritim.
“Meski aspek yang disampaikan Jokowi tidak banyak, dapat ditangkap apa yang menjadi konsentrasi pemerintahan Jokowi kedepan,” ujarnya.
Menurutnya, tidak mustahil Indonesia bisa maju dan makmur melalui pemberdayaan potensi laut. Konsekuensinya, terangnya, perlu ada kebijakan yang masif dalam modernisasi industri strategis di bidang perkapalan sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No. 16/2012 Tentang Industri Pertahanan.
“Ke depan kita harus memberikan perhatian khusus kepada industri perkapalan dalam negeri sehingga kita dapat memproduksi kapal yang berkualitas dan membelinya untuk
keperluan dalam negeri,” ujarnya.
Muzzammil menyarankan para nelayan, lulusan sarjana perkapalan, kelautan, dan pertanian diberikan posisi khusus untuk mendukung kebijakan pemerintahan Jokowi.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto menyatakan keinginan Jokowi mengembalikan kejayaan sebagai negara maritim perlu didukung semua pihak termasuk anggota kabinetnya.
Dia juga meminta instansi terkait di sektor maritime perlu menyingkirkan ego sektoral untuk mengakhiri tumpang tindih peraturan penegakan hukum di laut dan pantai.
Saat ini, penjagaan laut dan pantai nasional dilakukan oleh 12 instansi antara lain Kepolisian Air, TNI Angkatan Laut, Bea dan Cukai, serta Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai. Seluruh instansi tersebut memiliki wewenang penegakan hukum di laut dan pantai sesuai undangundang masing-masing.
Adapun, pembentukan badan tunggal penjaga laut dan pantai atau sea and coast guard sebagai amanat UU No.17/2008 tentang Pelayaran hingga kini terhambat di Sekretariat
Negara (Setneg).
KERUGIAN PELAYARAN
Akibat tumpang tindihnya penegakan hukum di laut, tuturnya, pengusaha pelayaran harus menanggung biaya tambahan operasional hingga Rp8 triliun per tahun.
Dia juga berharap pemerintahan Jokowi-JK melaksanakan program beyond cabotage dengan memberikan insentif fiskal dan moneter yang setara dengan negara lainnya kepada pelayaran. Selain itu, Presiden juga diminta mengubah term of trade ekspor dari free on board (FOB) menjadi cost, insurande and freight (CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB. Umar Aris, Kepala Biro Hukum Kementerian Perhubungan, mengatakan
posisi RPP sea and coast guard hingga saat ini telah mendapat persetujuan oleh seluruh kementerian terkait.
Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayanto meminta pemerintahan Jokowi-JK mengefisiensikan pengangkutan logistik dari Indonesia timur ke barat yang selama ini sangat mahal biayanya.
“Jika industri timur sudah naik, sediakan kapal yang ada cold storage dan kargo sehingga kapal tidak kosong ketika kembali lagi,” katanya.
Selain itu, Yugi menilai Jokowi harus menyoroti permasalahan mahalnya pajak industri kapal rakitan dalam negeri, sedangkan kapal yang langsung diimpor tidak kena pajak apapun. (Irine Agustine/John A. Oktaveri) Bisnis Indonesia
Leave a reply
Leave a reply