Pembudi Daya Ikan Perlu Genjot Produk Olahan

JAKARTA—Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pembudi daya ikan laut meningkatkan produk olahan untuk mengatasi penundaan pengangkutan akibat moratorium perizin an kapal.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebijakto mengatakan kapal angkut untuk ikan budi daya hidup ikut terkena moratorium
sehingga menyebabkan pengangkutan tertunda selama enam bulan.

Selama ini, menurutnya, permintaan olahan ikan budi daya laut, seperti fillet atau frozen kerapu dan kakap cukup tinggi, terutama dari AS dan Eropa. Harga produk olahan itu juga dinilai cukup bagus serta lebih mudah dalam pengangkutannya.

Selain itu, tambahnya, pengangkutan olahan ikan tidak memerlukan instalasi khusus, seperti oksigen dan air mengalir. “Saat panen [ikan] stres sedikit kemudian mati, harganya jatuh. Bahkan mungkin tidak terangkut,” katanya kepada Bisnis, Selasa (25/11).

Slamet melanjutkan pengolahan ikan perlu dilakukan untuk mengatasi berkurangnya permintaan kerapu dari China. Oleh karena itu, imbuhnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimbau kepada pembudi daya memikirkan pasar mendatang yang tidak lagi di dominasi oleh ikan hidup.

Menurutnya, fillet atau frozen kerapu dan kakap merupakan produk ekspor, sementara permintaan dalam negeri masih cenderung lebih besar pada ikan hidup.

Direktur Produksi Ditjen Perikanan Budidaya KKP Coco Kokarkin menambahkan penundaan pengangkutan ikan budi daya laut seharusnya tidak terjadi karena moratorium hanya berlaku pada kapal tangkap.

Dia menilai kapal angkut ikan budi daya merupakan kapal jenis kargo yang tidak memiliki alat penangkapan. Pihaknya masih mencari masukan untuk mengatasi permasalahan pengangkutan itu.

Dengan moratorium perizinan kapal, paparnya, setidaknya sekitar 100 ton kerapu di berbagai daerah tertunda pengangkutannya seperti dari Riau, Padang, atau Lampung. “Di Lampung 700 KJA [keramba jaring apung], rata-rata 250 kg. Belum lagi di Riau, Padang. Hampir 100 ton,” katanya.

Penundaan itu, lanjutnya, perlu diperhatikan mengingat moratorium masih menyisakan waktu 4,5 bulan lagi.

Dengan 100 ton ikan kerapu yang tidak terangkut tersebut, setidaknya nilai kerugian yang di alami sebesar Rp30 miliar dengan asumsi harga Rp300.000 per kg.

Sementara itu, dosen perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Suhana mengatakan penundaan pengangkutan ikan budi daya yang terjadi perlu dibantu dengan mendorong penggunaan kapal pemerintah. (Ihda Fadila) Bisnis Indonesia

Leave a reply