Pembangunan Kemaritiman Pertimbangkan Ancaman

YOGYAKARTA, KOMPAS —  Pemerintah diminta berhati-hati membangun sektor kemaritiman karena dampak perubahan iklim berpotensi merusak infrastruktur secara masif. Kemaritiman menjadi salah satu agenda utama pembangunan.

”Ekosistem pantai amat rentan perubahan iklim. Infrastruktur harus mempertimbangkan desain yang sesuai ancaman masa depan,” kata Direktur Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pacific (CCROM-SEAP) IPB Rizaldi Boer di sela peluncuran Laporan Kajian Panel Ahli Antar- pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) di Yogyakarta, Senin (10/11). Peluncuran itu ditandai diskusi bersama 250 pakar internasional dan akademisi dari 25 negara.

Turut hadir Kepala Balitbang Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian; Deputy Chief Executive Climate and Development Knowledge Network (CDKN) Ari Huhtala; dan Direktur Regional Asia CDKN Ali Tauqeer Sheikh.

Terkait kebijakan pemerintah memperkuat bidang maritim, para narasumber mengingatkan pemerintah agar berhati-hati. Hasil kajian IPCC, pada 2011 kenaikan paras muka laut rata-rata global hampir 1 meter. Di masa depan bisa sampai 7 meter.

”Infrastruktur di pantai serta banyak pulau akan rusak, mengalami erosi, dan hancur,” ujar Ali Tauqeer.

Rizaldi mengatakan, pengembangan kemaritiman bisa merusak ekosistem laut jika tidak dilakukan hati-hati. ”Dulu hutan dikembangkan, sekarang rusak. Kajian kerentanan harus dipetakan dengan baik,” katanya.

Untuk itu, ”Harus ada jembatan antara kebijakan dan sains,” ujar Rizaldi.

Seminar yang dihadiri utusan dari sejumlah negara di kawasan Asia Selatan hingga Pasifik itu antara lain menyoroti celah hasil penelitian dengan kebijakan publik yang diputuskan pemerintah. Celah sama juga ada antara kebijakan pemerintah dan masyarakat lokal.

Sementara itu, Edvin menyoroti kedaulatan iklim. ”Itu amat penting dalam konstelasi politik untuk mengajukan negosiasi berbasis lokal,” katanya.

Menurut dia, Indonesia sering kali tidak tahu teknologi yang harus diprioritaskan. Ia pun menyadari bahwa kapasitas untuk kedaulatan iklim saat ini belum cukup, padahal kebijakan ke depan tak bisa lepas dari faktor iklim. (ISW)

Leave a reply