INSA: Hilangkan Tumpang Tindih Penegakan Hukum di Laut
JAKARTA – Pengusaha meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyingkirkan ego sektoral untuk mengakhiri tumpang tindih peraturan penegakan hukum di laut dan pantai. Kebijakan itu sebagai langkah awal mewujudkan negara maritim.
“Kita sebagai negara maritim tapi enggak punya peraturan pemerintah (PP) sea and coast
guard. Selain itu juga harus diselesaikan ratifikasi arrest of ship agar pembiayaan di bidang pelayaran semakin aman,” kata Ketua Umum Indonesia National Shipowner’s
Association (INSA) Carmelita Hartoto, di Jakarta, Senin (20/10).
Carmelita mengungkapkan, akibat tumpang tindihnya penegakan hukum di laut, pengusaha pelayaran harus menanggung biaya tambahan operasional hingga Rp 8 triliun
per tahun. Jumlah itu merupakan akumulasi biaya konsumsi bahan bakar dan biaya
dari keterlambatan waktu akibat pemberhentian kapal saat berlayar. Selain itu, pemberhentian kapal di tengah laut oleh beberapa instansi mengancam keselamatan dan
Keamanan awak kapal.
Saat ini, penjagaan laut dan pantai nasional dilakukan oleh 12 instansi seperti Polair, TNI
AL, Bea Cukai, dan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Seluruh instansi tersebut memiliki wewenang penegakan hukum di laut dan pantai sesuai undang-undang masing-masing. Adapun draf pembentukan badan tunggal penjaga laut dan pantai atau sea and coast guard sebagai amanat Undang-undang No. 17/2008 tentang Pelayaran hingga kini masih berada di kantor Sekretariat Negara (Setneg).
Carmelita menuturkan, industri pelayaran masih menunggu gagasan riil Jokowi- JK mengembalikan kejayaan maritim nasional. Sebagai rujukan, kata dia, sebelum kebijakan
pembatasan usia kapal (scrapping policy) pada 1984, armada kapal nasional merajai angkutan domestik, bahkan hampir 80% angkutan eksporimpor menggunakan kapal
nasional. Tetapi sejak scrapping policy, industri pelayaran nasional terpuruk. Bahkan pada 2005, sekitar 45% muatan domestik dikuasai asing dan 95% ekspor impor diangkut kapal luar negeri.
Sejak keluarnya peraturan asas cabotage melalui Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaan
Industri Pelayaran Nasional, pengusaha dalam negeri telah berhasil mengambil kembali
Pangsa pasar domestik dengan dukungan pemerintah. Sekarang sekitar 99,2% muatan domestik telah diangkut menggunakan kapal berbendera Indonesia. Meski demikian, dia berharap, pemerintah segera menerapkan beyond cabotage atas angkutan ekspor-impor, sehingga muatan luar negeri Indonesia dapat dimanfaatkan oleh pelayaran nasional.
INSA berharap pemerintah Jokowi-JK dapat melaksanakan program beyond cabotage dengan memberikan insentif fiskal dan moneter yang setara dengan negara lainnya kepada pelayaran dan mengubah term of trade export dari free on board (FOB) menjadi cost, insurance, and freight (CIF) dan impor dari CIF menjadi FOB. “Jika ini bisa dilaksanakan, dalam lima tahun ke depan, separuh dari angkutan luar Indonesia bisa diangkut kapal nasional,” ujar dia.
Di sisi lain, jumlah armada niaga nasional saat ini mencapai 14,064 unit atau naik 132,80% dari 6,041 unit pada 2005. Menurut Carmelita, jumlah itu cukup memadai untuk pergerakan arus barang domestik yang mencapai 350 juta ton, kecuali pada daerah remote area, daerah terpencil dan pedalaman. Pemerintahan ke depan, lanjut dia, harus memperkuat pemberdayaan industri pelayaran nasional dengan melaksanakan pasal 56 dan 57 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran yang menyebutkan negara berkewajiban memberikan insentif fiskal dan moneter kepada sektor pelayaran nasional.
Kepala Biro Hukum Kementerian Perhubungan Umar Aris mengatakan, RPP sea and coast guard saat ini telah mendapat persetujuan seluruh kementerian terkait. Terakhir,
Dirjen Bea Cukai di bawah Kementerian Keuangan pun telah menandatangani draf tersebut.
“Pembentukan sea and coast guard juga tidak akan menghilangkan fungsi dari Badan
Keamanan Laut (Bakamla) yang berada di bawah Kemenko Polhukam, karena dilebur dengan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) yang berada di bawah Kementerian Perhubungan,” papar dia. (lrd) Investor Daily
Leave a reply