Mengurai Benang Kusut Sektor Logistik

Sistem distribusi di Indonesia saat ini boleh dibilang termasuk yang paling bermasalah di Asia. Belum berimbangnya porsi antara jalur darat, laut, udara, dan kereta api, menyebabkan sistem logistik negeri ini mahal, boros dan memprihatinkan.

Luasnya perairan Indonesia dan masih terbatasnya infrastruktur yang menunjang lancarnya pergerakan arus barang sebenarnya menjadi tantangan bagi penyedia jasa logistik. Saat ini, pada sistem logistik nasional, angkutan jalan berkontribusi 91,25%, kereta api (0,63%), dan penyebrangan 0,99%.

Adapun, angkutan laut hanya menyumbang 7,07%, angkutan udara (0,05%), dan angkutan sungai (0,01%). Data tersebut menunjukkan bahwa peran jalur darat masih
sangat dominan dalam sistem logistik nasional yang menyebabkan biaya distribusi semakin mahal yaitu 30% dari harga jual barang.

Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino memberi contoh di negara maju seperti Norwegia dan Jepang, beban distribusi logistik antara jalur darat dan laut sudah
seimbang.

Di Norwegia, jalur laut menyumbang peranan sebesar 48%, jalur darat (42%), dan 10% sisanya menggunakan jalur KA. Adapun di Jepang, jalur laut perannya lebih tinggi lagi yaitu sebesar 51% sedangkan peran jalur darat 44% dan 5% KA.

Menurutnya, belum teroptimalkannya peran jalur laut disebabkan infrastruktur di sebagian besar pelabuhan Indonesia masih belum memadai

Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan, mayoritas pelabuhan yang ada saat ini hanya sanggup menampung kapal-kapal kecil di bawah 1.000 TEUs. Padahal, untuk menekan biaya logistik, negara-negara maju lainnya sudah menggunakan kapal-kapal berukuran besar.

“Lebih murah mengirim barang dari Jakarta ke Hamburg yang jauhnya 11.000 km, daripada dari Jakarta ke Padang yang hanya berjarak 1.000 km,” kata Lino kepada Bisnis.
Saat ini, terdapat 111 pelabuhan utama di Indonesia dan ada 1.129 pelabuhan kecil yang berfungsi sebagai konektivitas antarpulau serta 914 terminal khusus yang melayani
kepentingan tertentu seperti pelabuhan kelapa sawit, tambang ataupun kebutuhan khusus lainnya.

NEGARA MARITIM

Oleh karena itu, katanya, usulan pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim dan mengedepankan logistik melalui
jalur laut sangat baik. Ini karena biaya angkutan darat 10 kali lipat lebih mahal, dibandingkan dengan menggunakan angkutan laut.

Selain itu, dia juga mengaku sangat mendukung adanya konsep dalam membangun tol laut atau yang disebutnya mirip dengan konsep pendulum nusantara.

Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Djoko Murjanto mengatakan saat ini masih terjadi ketimpangan sistem logistik nasional.

Dia mencontohkan jalan nasional pantai utara (pantura) Jawa terus digunakan untuk menampung 70% lalu lintas barang.

Kedua arah jalan itu banyak dilalui oleh truk besar yang berseliweran dari Surabaya ke Jakarta mengangkut semen dan barangbarang material lainnya. Ini memicu kemacetan parah karena ruas jalan ini juga dipakai oleh para pengguna moda transportasi lain seperti bus dan kendaraan pribadi. Akibatnya, biaya logistik pun melonjak dan usia jalan kian pendek akibat muatan berlebih.

Jika jalur pantura kerap terkendala seperti kerusakan di Jembatan Comal beberapa waktu lalu, sektor logistik darat akan lumpuh total. “Padahal, pengiriman barang dari Medan ke Surabaya harus lewat pantura. Dari Makassar ke Jakarta harus lewat pantura atau dari Bali ke Medan,” jelasnya.

Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan Indonesia terlalu banyak memliki peraturan dan lembaga yang mengatur masalah logistik. Akibatnya, banyak sektor yang tak berjalan optimal karena tumpang tindih regulasi. “Ego sektoral harus dikikis melalui revolusi mental,” jelasnya.

Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), mengatakan selain sisi infrastruktur pelabuhan, tantangan terbesar juga terjadi pada moda
penunjang logistik seperti Bea Cukai, angkutan barang, pemadu kapal hingga karantina.

Antarinstasi penunjang ini seharusnya berada dalam satu kesatuan yang membuat arus
barang menjadi lancar, bukan malah ego sektoral masingmasing yang dikedepankan.

Oleh karena itu, menurutnya, Peraturan Presiden No.26/2012 tentang Sistem Logistik
Nasional perlu diubah menjadi UU Logistik dan Transportasi.

Dengan aturan yang lebih tinggi tersebut, satu pintu kebijakan untuk berbagai aktivitas
di lingkungan pelabuhan dan logisti dapat terwujud. “[Regulasi] jangan bertentangan satu dengan yang lain seperti saat ini,” tuturnya.

Menurut Yukki, keberadaan Badan Logistik dan Transportasi Nasional yang mengintegrasikan sektor logistik Indonesia menjadi mutlak dibutuhkan. Lembaga ini nantinya dapat berbentuk seperti Unit Kerja Presiden atau Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang berada langsung di bawah presiden.

“Kita perlu mencontoh Thailand yang telah berhasil mereformasi logistik dan maritim setelah membentuk lembaga pengurus logistik yang langsung bertanggung jawab ke
presiden,” ujarnya.

Pada sisi lain, ALFI mengusulkan adanya reformasi logistik yang meliputi pembangunan infrastruktur logistik. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan kawasan industri,
program short sea shipping, Trans- Java Highway, dan mendorong perbaikan serta penambahan jaringan jalan di seluruh Indonesia, termasuk di perbatasan.

Selain itu, reformasi dilakukan melalui pembangunan pusat logistik, tersedianya fasilitas untuk kargo udara, hingga percepatan pengembangan Kawasan. (Bisnis Indonesia)

Leave a reply