Benahi BBM Nelayan
JAKARTA, KOMPAS- Pemerintah didesak segera membenahi tata kelola penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi bagi nelayan kecil dan pola bagi hasil dengan pemilik kapal. Pembenahan diperlukan agar distribusi BBM bersubsidi menjangkau semua nelayan kecil dan tidak disalahgunakan.
Sejumlah anggota Komisi IV DPR menilai, perlu dikaji sejauh mana alokasi BBM bersubsidi neIayan bermanfaat bagi nelayan kecil. Alasannya, ada indikasi nelayan kecil selama ini kesulitan mengakses BBM bersubsidi. BBM tersebut justru lehih banyak dinikmati pengusaha kapal ikan dan pemodal besar.
“Jangan sarnpai pemodal memberdayakan nelayan kecil dengan alasan koperasi, tetapi
nasib nelayan kecil tetap tidak diperhatikan,” kata anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Anlon Sihombing, di sela-sela Rapat Dengar Pendapat Komisi IV DPR dan pejabat eseIon I Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Rabu (10/ 9).
Hal enada dikemukakan anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Golkar, Siswono Yudo Husodo. Ia menilai, keterbatasan anggaran pemerintah untuk subsidi BBM harus disikapi dengan memprioritaskan BBM untuk nelayan kecil dengan bobot kapal di bawah
30 gros ton (GT).
SPBN sulit terjangkau
Tantagan besar yang harus dijawab pemerintah adalah pemerataan penyaluran BBM bcrsubsidi untuk nelayan kecil di seluruh wilayah. Sebab, faktanya masih banyak nelayan kecil tidak mampu menjangkau slasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios penyaluran bahan bakar nelayan (SPDN).
Nelayan kecil yang tersebar hingga pulau-pulau kecil juga terpaksa membeli BBM cceran dengan harga mahal, bahkan menghabiskan biaya solar untuk ongkos membeli bahan bakar.
“Kendala tcrbesar penyaluran BBM bersubsidi adalah aksesibilitas nelayan. Nelayan tersebar di seluruh pesisir, sedangkan SPBN dan SPDN hanya ada di beberapa lokasi,” kata Siswono.
Seperti diberitakan (Kompas 9/ 9), kebijakan pelonggaran penyaluran BBM bersubsidi untuk kapal ikan maksimal 100 GT dipertanyakan sejumlah kalangan. Kuota BBM bersubsidi seharusnya dibatasi hanya untuk nelayan kecil dengan bobot kapal di bawah 10 GT. Pelonggaran kuota BBM dengan alasan kesejahteraan anak buah kapal (ABK) dinilai bentuk penyimpangan alokasi bantuan pemerintah.
Kenyataanya, baik pola bagi hasil perikanan maupun pola kerja antara pemilik kapal dan buruh nelayan, kerap mengeksploitasi dan merugikan buruh. Buruh lebih banyak dibebankan dengan biaya operasional melaut, sementara hasil tangkapan dinikmati
pemilik modal.
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Riza Damanik,
mengungkapkan, penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemberdayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil harus menjadi momentum
untuk mengatur akses modal bagi nelayan kecil, kemitraan dengan dunia usaha, dan
pemberian subsidi bagi nelayan RPP itu ditargetkan tuntas paling lambat Septembcr 2014.
Memberatkan
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwynn Jusuf menilai, penghapusan BBM bersubsidi untuk kapal nelayan bcrbobot 30 GT-100 GT akan memberatkan karena kapal-kapal itu menggunakan ABK yang merupakan buruh nelayan.
Pihaknya kinj tengah mengkaji kebijakan insentif dan disinsentif untuk mendorong pengawasan alokasi BBM bersubsidi nelayan. Kebijakan disinsentif, misalnya, kapal yang berpotensi meraup hasil tangkapan dalam jumlah besar tetapi tidak ramah lingkungan akan dihilangkan subsidinya. (LKD) Kompas
Leave a reply
Leave a reply