Kaji BBM Kapal lkan
JAKARTA, KOMPAS- Kuota bahan bakar minyak bersubsidi untuk kapal ikan berbobot hingga 100 gros ton perlu dikaji karena tidak efektif. Pengusaha kapal ikan kerap menjadikan anak buah kapal sebagai alat untuk mendapatkan jatah BBM bersubsidi.
Demikian pandangan Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional lndonesia Riza Damanik dan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim yang dihubungi secara terpisah, Selasa (9/ 9), di Jakarta.
Menurut Riza, kuota BBM bersubsidi bagi nelayan seharusnya dibatasi untuk nelayan kecil dengan kapal berbobot di bawah 30 gros ton (GT). Kapal ikan dengan bobot 100 GT yang harganya miliaran rupiah tergolong kapal besar. Namun, keberadaan anak buah
kapal (ABK) sebagai buruh nelayan kerap dijadikan alat bagi pengusaha untuk meminta jatah BBM bersubsidi.
Dia menambahkan, pola bagi hasil perikanan dan pola kerja antara pemilik kapal dan buruh nelayan kerap eksploitatif dan merugikan buruh. Buruh dibebani dengan biaya operasional melaut, sedangkan hasil tangkapan dinikmati pemilik modal.
“Jangan mencampuradukkan kuota BBM bersubsidi dengan urusan kesejahteraan ABK. KesejahteraanABK mutlak menjadi tanggung jawab pengusaha Pengusaha jangan manja dengan melemparkan tanggung jawab kesejahteraan ABK kepada pemerintah melalui tanggungan subsidi BBM nelayan,” kata Riza.
Dia menambahkan, subsidi BBM untuk kapal di atas 50 GT tergolong subsidi industri yang dilarang dalam aturan perdagangan internasional. Apalagi, subsidi BBM diberikan kepada perusahaan yang produknya akan diekspor sehingga dikhawatirkan mendistorsi harga ikan di pasar.
Pemerintah ke depan diminta mendukung pembenahan tata kelola subsidi BBM dan pembenahan pola bagi hasil antara pemilik kapal dan ABK.
Eksploltasi buruh
Hal senada dikemukakan Abdul Halim. Pelongggaran kebijakan penyaluran BBM bersubsidi dengan alasan kesejahteraan ABK merupakan bentuk penyimpangan alokasi bantuan pemerintah. Hasil survei KIArA tahun 2013-2014 menunjukkan, pola bagi hasil pemilik kapal dan buruh nelayan cenderung merugikan buruh.
Pasal 3 UU Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan menyebutkan, ketentuan
perjanjian bagi hasil usaha perikanan kepada nelayan penggarap perikanan laut adalah minimum 75 persen dari hasil bersih jika menggunakan perahu layar dan minimum 40 persen jika menggunakan kapal motor.
Halim memaparkan, dalam praktiknya, pola bagi hasil perikanan rata-rata 80 persen untuk pemilik kapal atau pemodal dan sisanya dibagi ke ABK. Adapun 20 persen sisa hasil tangkapan dibagi lagi untuk jurumudi dan ABK dengan pembagian 7-10 persen
untuk juru mudi. Sisanya dibagi rata untuk ABK.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Seluruh Indonesia Herwindo mengemukakan, yang terpenting bagi pengusalm kapal perikanan adalah kepastian pasokan BBM. Kebutuhan BBM mencapai 60-70 persen dari total biaya operasional.
“Kalau kapalnya berhenti beroperasi, akan lebih rugi lagi. Yang penting BBM tersedia, harga di atas subsidi juga enggak apa-apa,” kata Herwindo.
Riza mengatakan, bentuk dukungan terhadap kapal di atas 30 GT bukan dengan memberikan BBM bersubsidi, melainkan dukungan pemerintah untuk insentif perbankan guna memudahkan modal usaha. (LKT) Kompas
Leave a reply
Leave a reply