Proyek Pelabuhan Cilamaya Ditinjau Ulang
JAKARTA – Proyek Pelabuhan Cilamaya di Karawang dikaji ulang, karena dikhawatirkan mengganggu produksi migas di Blok Offshore North West Java yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Energi. Lokasi disarankan digeser ke arah timur, seperti Cirebon yang masih di provinsi sama, Jawa Barat. Hal ini sesuai tujuan pembangunan pelabuhan baru untuk memecah kepadatan arus barang di Tanjung Priok.
Pelabuhan di Jawa Barat itu dirancang untuk membagi beban Pelabuhan Tanjung Priok
sebagai pelabuhan utama dan terbesar di Indonesia. Pelabuhan baru juga akan mengurangi beban jalan dan kemacetan di Jabodetabek, karena 60-70% arus barang ke Priok selama ini berasal dari kawasan industri di Jakarta Timur hingga Jawa Barat.
Pelabuhan di Cilamaya akan memiliki kapasitas sekitar 7 juta TEUs dan ditargetkan mulai beroperasi 2020. Proyek pelabuhan ini terdiri atas dua tahap dan membutuhkan dana total sekitar US$ 3,45 miliar. Pembangunan tahap pertama senilai US$ 2,39 miliar direncanakan mulai 2015, dilanjutkan tahap kedua senilai US$ 1,06 miliar. Pemerintah akan mendorong skema kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership/PPP), agar pendanaan tidak tergantung pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Bobby R Mamahit mengatakan, proyek Pelabuhan Cilamaya tahun ini sebenarnya sudah akan sampai ke tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan persiapan pendanaan. “Namun, ada laporan studi yang menyatakan lokasinya bisa mengganggu kegiatan lepas pantai Pertamina. Oleh karena itu, dilakukan kajian ulang oleh tim konsultan dan di Kemenko Perekonomian juga sedang dibahas.
Hingga kini belum ada keputusan atau kesepakatan di mana akan dibangun pelabuhan tersebut,” katanya saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Senin (25/8). Ia menjelaskan, pembangunan Pelabuhan Cilamaya dikhawatirkan mengganggu kegiatan operasi produksi migas di Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Energi. Akibatnya, proyek ini harus tertunda.
“Saat ini, permasalahan itu masih dibahas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, karena Pelabuhan Cilamaya merupakan bagian dari proyek Metropolitan Priority Area (MPA) dan masuk program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI),” paparnya.
Selain proyek Pelabuhan Cilamaya yang akan memecah beban Pelabuhan Tanjung Priok, pemerintah berencana membangun pelabuhan di Jakarta Utara, yang terintegrasi dalam proyek Pengembangan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/ NCICD). Berdasarkan masterplan NCICD yang semula dikenal sebagai Giant Sea Wall, pengembangan pelabuhan akan dilakukan hingga tahun 2030.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro mengatakan, masterplan final NCICD yang disiapkan oleh tim konsultan Belanda bersama tim Indonesia akan rampung pada akhir Agustus ini. Total proyek bisa menelan investasi hingga Rp 400 triliun dengan cakupan wilayah hingga 4 ribu hektare (ha).
Mega proyek NCICD itu terdiri atas dua tahap dan September mendatang Pemprov DKI Jakarta berencana menancapkan tiang pancang pertama (groundbreaking). Tahap pertama (stage A) adalah memperkokoh dan mempertinggi tanggul di pesisir Jakarta yang sudah ada sepanjang sekitar 30 km, serta reklamasi untuk 17 pulau buatan.
“Tinggi tanggul saat ini hanya 2 meter, lebih rendah dari tinggi muka laut yang sudah di atas 2 meter, sehingga akan dinaikkan jadi 4 meter dan diperlebar. Ini yang groundbreaking tanggal 3 September nanti. Groundbreaking tahap A itu akan dilakukan di sisi timur Waduk Pluit,” papar Andi Baso.
Tahap kedua atau stage B adalah Giant Sea Wall (GSW) secara keseluruhan, yang di dalamnya meliputi tanggul raksasa sepanjang 32 km, bandara, pelabuhan, jalan tol, permukiman, kawasan industri, pengolahan limbah, pembangunan waduk, normalisasi sungai, dan pusat-pusat pariwisata baru.
Setelah masterplan, kelembagaan, dan roadmap rampung, pekerjaan selanjutnya adalah
Menyiapkan amdal dan detail engineering design (DED). Nantinya semua ditenderkan, namun belum ditetapkan berapa porsi investasi swasta dan berapa porsi pemerintah pusat serta Pemprov DKI Jakarta.
NCICD nantinya terintegrasi dengan infrastruktur DKI seperti Jakarta Outer Ring Road
(JORR) 1 maupun JORR 2, serta mass rapid transit (MRT) yang membentang dari Lebak Bulus ke Jakarta Kota (koridor utara-selatan). Bahkan, MRT rencananya juga dibangun untuk koridor barat ke timur.
“Tim diminta mempercepat roadmap pembangunannya, termasuk skema pembiayaan dan organisasi atau kelembagaan, yang mengacu pada pertemuan tim dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo beberapa waktu lalu,” kata Andi Baso kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.
Pilihan Lokasi
Bobby mengatakan, awalnya ada sembilan daerah yang menjadi pilihan lokasi pendirian pelabuhan baru yang belakangan ditetapkan di Cilamaya. Pilihan tersebut antara lain adalah Merunda, Muara Gombong, Ciasem, dan Tanjung Priok. Pilihan tempat ini berdasarkan studi kelayakan tahap awal, dengan melihat potensi alam sekitar untuk
Dikembangkan menjadi pelabuhan. “Akhirnya dari studi diputuskan satu daerah paling potensial yakni Cilamaya, meskipun ada kegiatan produksi gas dan minyak di sana. Tadinya, tujuan utamanya juga untuk mendukung daerah industri yang ada di belakangnya, yaitu Karawang. Ini juga untuk mengurangi lalu lintas ke pusat Jakarta,” kata Bobby.
Lebih lanjut, Bobby mengatakan, pemerintah masih mengkaji berbagai kemungkinan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kawasan migas Pertamina. Untuk kemungkinan pemindahan lokasi, lanjut Bobby, masih bisa terjadi mengingat ada pilihan daerah lain yang berpotensi untuk dibangun pelabuhan.
Sementara itu, Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, pembangunan pelabuhan di kawasan Cilamaya memiliki risiko yang sangat besar karena kondisi fisiknya terbentuk dari banyak kawah. Selain itu, Cilamaya merupakan daerah produksi minyak dan gas milik Pertamina, yang instalasinya sudah terpasang sampai dasar laut sejak lama.
“Kendala yang ada tersebut sudah kami ketahui. Jika tetap dibangun, harus menguruk kawah dan membongkar instalasi Pertamina,” kata Siswanto. Menurut Siswanto, Cirebon adalah pilihan yang paling memungkinkan untuk memindahkan lokasi pembangunan pelabuhan dari Cilamaya. Namarin mencatat, Cirebon merupakan tempat strategis untuk membangun pelabuhan baru, karena cukup dekat dengan kawasan industri Karawang dan Cikampek.
Selain itu, Cirebon sudah memiliki infrastruktur darat yang sangat baik seperti kereta api dan jalan raya yang bisa mendukung mobilisasi menuju pelabuhan. “Carilah tempat yang baru ke arah timur, bisa ambil Cirebon. Meskipun di sana tingkat sedimentasinya cukup tinggi, tapi lebih aman karena bebas dari pertambangan. Di sana juga sudah ada lahan dan pelabuhan milik PT Pelindo II yang lebih mudah untuk dikondisikan. Tren pengembangan kawasan industri juga sedang mengarah ke timur seperti Karawang dan Cikampek, yang tidak jauh dari Cirebon,” kata Siswanto saat dihubungi Investor Daily di Jakarta, Senin (25/8).
Ketua Supply Chain Indonesia Setijadi yang dihubungi Investor Daily mengatakan, jika lokasi pembangunan Pelabuhan Cilamaya harus digeser, lebih baik tetap mengarah ke timur Jakarta dan Cirebon merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan. Hal itu akan mengefisienkan arus logistik dari kawasan industri di Jawa Barat ke pelabuhan dan sebaliknya.
“Ini sesuai tujuan awal pembangunan Pelabuhan Cilamaya untuk memecah kepadatan arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok maupun akses dari dan menuju pelabuhan. Pelabuhan alternatif yang dikembangkan sebagai perluasan Pelabuhan Tanjung Priok, yakni Terminal Kalibaru, saat ini masih terkendala akses, khususnya tol. Dengan demikian, pembangunan pelabuhan baru ke arah timur diperlukan untuk mengefisienkan biaya logistik,” paparnya.
Pelabuhan Cilamaya ditargetkan mengurangi beban jalan dan kemacetan di Jabodetabek akibat tingginya arus barang ke Priok, yang selama ini mayoritas berasal dari timur Jakarta dan Jawa Barat. Apalagi, Cilamaya berlokasi di dekat kawasan industri yang semakin bergeser ke timur menuju Cirebon.
“Pelabuhan di wilayah timur ini diperlukan untuk mendukung kegiatan distribusi barang, khususnya yang diproduksi di kawasan industri seperti Cikarang, Cibitung, Cikampek, Karawang, dan Bandung Raya. Jika pelabuhan berada di timur akan membuat biaya logistik lebih efisien. Namun demikian, pembangunan pelabuhan baru di Cirebon harus melalui kajian yang matang, termasuk masalah teknisnya,” papar dia.
Siswanto menuturkan, pemerintahharus menyiapkan detail engineering design untuk membangun pelabuhan baru sekelas Cilamaya ini. Hal tersebut untuk menghindari tumpang tindih pembangunan infrastruktur.
“Pelabuhan Cilamaya ini memang dipersiapkan untuk dibangun hingga puluhan tahun yang akan datang. Belum ada konsep yang detail untuk pelabuhan ini, sehingga memang tidak siap kalau harus dieksekusi segera. Hanya saja saat ada kepentingan politis, hal ini rawan untuk dieksekusi secara terburu-buru, seperti terjadi saat ini,” kata Siswanto. Ia menegaskan, pemerintah harus menyiapkan dulu konsepnya secara matang. Dengan demikian, kapan saja dibutuhkan ke depannya, proyek ini langsung bisa dieksekusi.
Sementara itu, pengamat maritim dari ITS Saut Gurning mengatakan, secara teknis, Pembangunan pelabuhan baru di Cilamaya yang berdekatan dengan kegiatan produksi minyak dan gas Pertamina masih bisa dilanjutkan, karena tidak akan membahayakan dan merugikan kedua pihak. Skema pembangunan pelabuhan yang berdampingan dengan kegiatan lepas pantai migas sudah banyak diterapkan di Indonesia, seperti di Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
“Secara teknis, pembangunan pelabuhan berdekatan dengan kegiatan Pertamina tidak ada
Masalah. Lagipula ada undangundang yang selanjutnya akan mengatur mitigasi, pembiayaan ganti rugi, dan sebagainya, yang akan menjadi tanggung jawab kontraktor pelabuhan. Kegiatan sandar kapal, navigasi, dan lepas pantai juga bisa diatur sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu produksi Pertamina,” kata Saut. (tm/en)
Leave a reply