Dugaan Praktek Rente Diinvestigasi

JAKARTA—Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok segera memanggil seluruh pemangku kepentingan di sektor jasa angkutan laut guna mendalami adanya dugaan praktik ekonomi rente yang merugikan para pengguna jasa di pelabuhan tersebut.

Kepala Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Priok Wahyu Widayat mengatakan para pihak yang akan di panggil tersebut di antaranya manajemen PT Pelindo II Tanjung Priok, PT Jakarta International Container Terminal (JICT), dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja.

Pihaknya juga akan meminta keterangan dari perusahaan pelayaran anggota Indonesian National Shipowners Association (INSA), Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi), Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Kadin DKI dan Asosiasi Depo Kontainer Indonesia (Asdeki).

Pemanggilan para pihak yang berkepentingan itu dijadwalkan pada pekan ini dan akan membahas masalah uang jaminan peti kemas untuk kegiatan angkutan laut luar negeri.

“Selain itu, juga [akan diperdalam] mengapa dokumen EIR [equipment interchange receipt] tidak secara optimal diberlakukan di terminal peti kemas Pelabuhan Priok,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (26/8).

Wahyu mengatakan pemanggilan ini dilakukan sebagai respons OP Tanjung Priok dalam memerangi tingginya biaya logistik di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.

“Saya sudah laporkan masalah keluhan para pelaku usaha tentang uang jaminan peti kemas dan pemberlakuan dokumen EIR ini kepada Dirjen Hubla [Perhubungan Laut] Kemenhub,” ucapnya.

Uang jaminan peti kemas dibayarkan kepada perusahaan pelayaran global saat menebus delivery order (DO) untuk kegiatan impor melalui agen pelayaran di
dalam negeri. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika terjadi kerusakan peti kemas.

Adapun, dokumen EIR menjadi bukti yang sah saat serah terima peti kemas dari kapal ke terminal peti kemas. Dari tempat itu, peti kemas kemudian berpindah ke pihak angkutan truk dan seterusnya hingga ke depo peti kemas atau gudang pemilik barang di luar pelabuhan.

“Kalau soal jaminan uang peti kemas menurut pihak pelayaran bersifat business to business. Nah, kalau soal penerbitan dokumen secara benar di dalam pelabuhan Tanjung Priok itu yang akan kami tekankan [teliti],” kata Wahyu.

TAK KEBERATAN

Sementara itu, operator depo empty yang juga mitra kerja operator pelayaran global untuk penumpukan peti kemas kosong (empty) dari kegiatan ekspor impor di Tanjung Priok tidak keberatan jika uang jaminan peti kemas angkutan laut luar negeri itu dihilangkan.

“Tidak ada masalah bagi kami [depo] kalau uang jaminan peti kemas itu dihilangkan. Itu domainnya pelayaran dengan cargo owners,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Depo Peti Kemas Indonesia (Asdeki) Muslan A.R.

Menurutnya, selama ini depo empty memperoleh pendapatan dari kegiatan pencucian dan menaik turunkan (lift on-lift off) peti kemas. “Adapun, biaya reparasi peti kemas dipungut oleh pihak pelayaran sehingga ada uang jaminan peti kemas saat menebus DO ke pelayaran,” katanya.

Muslan mengatakan operasional depo yang menjadi penopang kegiatan empty peti kemas ekspor impor di Priok harus dilakukan penataan menyeluruh agar tarifnya bisa seragam dan komitmen melayani konsumen 24 jam menyusul kesiapan industry logistik nasional menghadapi Asean Economyc Community (AEC) 2015.

“Untuk peningkatan layanan di depo, kami juga berencana membedakan biaya pelayanan saat shift 2 dan 3 dengan shift 1,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Komite Tetap Kepabeanan Kadin DKI Jakarta Widijanto mengatakan Kadin DKI tetap mendesak penghapusan pengenaan uang jaminan peti kemas angkutan laut luar negeri. Hal itu dapat memicu tingginya biaya logistik di Pelabuhan Tanjung Priok.

Pasalnya, para pengguna jasa angkutan laut diwajibkan membayar jaminan peti kemas US$100—US$ 300 per peti kemas sebelum menebus DO kepada agen pelayaran.

Biaya itu dikutip untuk menjamin tak ada kerusakan peti kemas sama sekali dalam proses penyerahan barang dari agen pelayaran kepada pemilik barang atau forwarder yang mewakili cargo owners.(Bisnis Indonesia)

Leave a reply