Perjelas Penggunaan Purse Seine
JAKARTA—Pemerintah diharapkan memperjelas kebijakan penangkapan ikan menggunakan kapal purse seine, yang dinilai sebagai pemicu penurunan jumlah produksi ikan tuna, cakalang, dan tongkol di Indonesia.
Ketua Komisi Tuna Indonesia Martani Huseini mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya menyeimbangkan pemberian izin penangkapan tuna menggunakan kapal purse seine (pukat cincin) kecil yang selama ini malah menjaring baby tuna di permukaan laut dan membuat produksi menjadi tidak maksimal.
“Kita harapkan kebijakan baru mengenai izin penangkapan menggunakan purse seine, karena selama ini yang ditangkap cakalang dan tuna yang masih kecil. Ini bisa merusak, karena tangkapan tuna besar jadi tidak bisa dihasilkan,” katanya kepada Bisnis, (21/7).
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) produksi ketiga hasil tangkap ini memang menurun dari 1,14 juta ton pada 2012 menjadi 1,07 juta ton pada 2013. Vo lume ekspor ikut menurun dari 201.160 ton pada 2012 menjadi 105.106 ton pada 2013.
Selain itu, Martani mengatakan produksi akan terus menurun jika tidak ada kebijakan baru mengenai permasalahan ini. Terlebih, aktivitas di Laut Banda selaku markas produksi tuna dikelilingi oleh kapal purse seine kecil yang tidak seharusnya menangkap ikan tuna yang belum pada waktu panennya.
“Jumlah produksi itu sendiri lebih banyak menjangkau ikan tuna dan cakalang ukuran kecil. Lagipula, kalau purse seine-nya kebanyakan, nanti tunanya habis. Tuna malah akan meninggalkan Banda karena umpannya semua sudah terjaring,” jelasnya. Kepala Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengatakan sampai saat ini pemerintah tidak membatasi izin kapal penangkapan ikan di
Indonesia. Dari 4.000 kapal yang diberikan izin oleh pemerintah pusat, sebanyak 700 hingga 800 kapal adalah purse seine jenis kecil yakni 10-30 gross tonnage (GT).
“Ini harus dikurangi dan dibatasi wilayah penangkapannya karena mengancam kelestarian lingkungan,”katanya. Dia juga mengatakan seharusnya Laut Banda selaku daerah penangkapan (fishing ground) tuna, cakalang, dan tongkol dilindungi dari aktivitas penangkapan dengan menggunakan purse seine.
“Kita harus mengatur, harus ada izin untuk tuna di biarkan bertelur, tumbuh lalu pada
masanya kita tangkap. Sementara nelayan di Pulau Buru mengeluh pada saya bahwa menangkap ikan tuna semakin susah.” Muhammad bahkan mengharapkan pemerintah dapat membuat Laut Banda sebagai daerah bebas purse seine, mengingat daerah tersebut adalah satu-satunya markas tuna di wilayah kedaulatan Indonesia.
SESUAI REGULASI
Sementara itu, Direktur Sumber Daya Ikan KKP Toni Ruchimat mengatakan regulasi mengenai pengembangan baby tuna selalu dijalankan seperti yang diatur oleh Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). “Sesuai dengan resolusi, kami selalu melakukan penutupan penangkapan pada Juli hingga Oktober untuk memberikan
waktu pertumbuhan pada baby tuna,” katanya.
Toni mengatakan bahwa komite ilmiah dari Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs) selalu memberikan laporan mengenai hasil tangkapan tuna setiap
tahunnya. Dia memastikan bahwa cagecom – position baby tuna masih berada di bawah
10%. “Masih di bawah 10%, karena kami selalu diberikan rekomendasi setiap tahunnya. Kedepannya, RFMOs pasti akan mengupa yakan untuk melarang sustai nability ini,” katanya.
Sampai dengan akhir 2014, KKP memproyeksikan hasil tangkapan tuna, cakalang dan tongkol mencapai 1,12 juta ton. Pada semester pertama, target tersebut hampir tercapai setengahnya yaitu 550.880 ton, dengan 133.910 ton tuna, 197.320 ton cakalang
dan 219.530 ton tongkol.(Irene Agustine redaksi@bisnis.co.id)
Leave a reply